Zeya menatap lembar surat yang ia temukan di kamar ibunya beberapa hari yang lalu.
Surat itu tidak panjang, namun Zeya menangisinya hingga berjam-jam terlewat sampai air matanya mungkin akan kering.
Maafin ibu Zeya, ibu udah gak sanggup lagi. Tolong jaga diri dan adik-adik kamu baik-baik ya?
Isi surat itu, yang di tulis tangan ibunya beberapa menit sebelum dia meneguk racun tikus hingga satu botol habis tidak tersisa.
Ini sudah seminggu, sudah selesai segala proses pemakaman, Andin dan Anya memang masih menangis, dan Zeya masih mengulang-ulang surat itu karena tidak percaya.
Zeya tau bahwa keluarganya memang punya hutang yang lumayan besar, ayahnya yang sekarang sedang di penjara karena ketahuan mencuri emas juga karena ingin membayar hutang itu. Ibunya menyerah, dan memang sudah sering mengeluh lelah mendengar rentenir datang bergantian menagih hutang mereka. Ibunya juga sering bilang kalau dia malu pada tetangga-tetangga karena punya banyak utang.
Hingga akhirnya ibunya memilih menyerah, seminggu yang lalu di sore hari selepas Zeya pulang bekerja di pabrik roti-, rumah sudah dalam keadaan ramai, banyak tetangga yang berkumpul juga beberapa tenaga medis yang di telpon Andin. Adik pertamanya yang menemukan ibunya pertama kali, dimana ibunya terbaring kaku dengan mulut penuh busa di lantai kamarnya.
Selama ini, Zeya bahkan memilih tidak melanjutkan pendidikannya karena tau orang tuanya tidak akan mampu. Ia bekerja di pabrik juga menjaga toko untuk bisa membantu keperluan rumah dan membayar utang yang seakan tak habis itu. Ibunya yang hanya pekerja di perkebunan salah satu orang kaya di desa, memang tidak akan mampu melunasi sendirian, apalagi sejak ayahnya masuk penjara. Zeya merasa hidup semakin berat saja setiap harinya.
Ia masih perlu membujuk rentenir itu untuk mau menunggu sedikit lebih lama dan sabar lagi untuk ia lunasi hutangnya karena sekarang hanya ada dirinya.
Andin masih duduk di bangku SMA, ia juga bekerja paruh waktu di warung milik ibu temannya untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya meskipun Zeya sudah melarang dan khawatir nilainya terganggu.
Anya masih kecil, dia masih kelas lima SD dan belum bisa bekerja dan Zeya pun tidak mau itu.
"Mbak, di depan ada bude Aminah." Anya mengetuk pelan kamar Zeya. Dengan segera ia menghapus air matanya juga merapikan penampilannya sedikit.
"Zeya, ini bude bawa makanan." Dia bude Aminah, tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Zeya. Bisa di bilang adalah orang sekitar yang paling peduli dan paling sering turun tangan membantu Zeya. Pada saat pemakaman ibunya saja, bude Aminah adalah yang paling banyak mengurus.
"Harusnya enggak usah repot-repot bude" ucap Zeya yang merasa tidak enak karena bude Aminah sudah terlalu banyak membantunya.
"Enggak repot, kebetulan masak banyak." Aminah meletakkan semangkuk sup ayam yang ia buat diatas meja makan Zeya. Kemudian menuju ruang tamu dan duduk di sofa usang disana.
"Kamu beneran di pecat dari pabrik?" Di desa tempat Zeya tinggal, ada sebuah pabrik roti yang lumayan besar. Milik salah satu dari beberapa orang kaya di desa ini. Di hari meninggalnya ibunya, Zeya di pecat karena melakukan kesalahan yang sama sejak beberapa hari sebelumnya. Zeya mengakui itu, makanya ia pasrah ketika di pecat. Lalu pekerjaan menjaga toko juga tentu tidak akan cukup untuk menyambung hidup. Memang serumit itu hidup Zeya dan ia kembali di timpa musibah, ibunya bunuh diri karena tidak sanggup hidup miskin.
"Iya bude, tapi gak papa. Aku bakal cari kerjaan lain." Zeya tersenyum, agar bude Aminah tidak usah terlalu mengkhawatirkannya dan adik-adiknya.
"Gini Zeya.." Aminah memegang tangan Zeya, sebenarnya dia juga berat melakukan ini. Ia tidak mau Zeya jauh-jauh di kota besar sendirian, tapi kalau tidak begini, Aminah meskipun mengerahkan segala tenaga untuk membantu mereka juga tidak akan mampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.