"aku ada temen, namanya Bita." Andin dan Zeya berjalan beriringan menuju ruangan Daniel berada.
Daniel yang agaknya per tiga jam ini saja sudah menelpon Zeya lebih dari lima kali. Padahal, Zeya dan Andin tidak lama di toko buku. Benar-benar hanya membeli buku yang Andin cari lalu segera memesan taksi untuk ke kampus. Tapi Daniel bertindak seolah Zeya dan Andin hendak menuju keluar negeri dan menetap disana.
"Terus?" Andin berjalan dengan merangkul lengan Zeya, kampus ramai tentunya. Andin pulang lebih awal hari ini, jam satu siang, seperti permintaan Baginda Daniel, Zeya dan Andin di minta makan siang bersama. Tapi Andin memilih bertemu dengan teman-temannya yang kebetulan juga punya tugas kelompok bersama. Sumpah, lebih baik itu dari pada makan dengan penuh tekanan karena ada Daniel.
"Kakaknya dia tuh, namanya Ervan, dosen pembimbingnya pak Daniel. Katanya pak Daniel galak. Ngasih deadline juga gila-gilaan. Katanya sih, aku gak liat tapi aku setuju. Mbak ngerasa gak sih pak Daniel tuh auranya serem apalagi kalo diam aja, kita tuh jadi segan padahal cuma mau nyapa." Zeya mengangguki ucapan panjang Andin. Memang sih. Zeya pertama kali bertemu Daniel bahkan mungkin hingga hari ini-, kadang-kadang masih merasa takut juga segan.
"Tapi sebenarnya dia baik kok." Iya, itu bukan kalimat untuk menyangkal ucapan Andin. Pada dasarnya Daniel memang baik hati. Semua orang rumah juga mengatakan demikian, meski memang mereka tidak dekat, kebaikan Daniel tetap sampai pada mereka.
"Tapi dia enggak begitu kan ke mbak? Dia gak kasar kan?" Kasar. Daniel bisa menarik dan merobek bajunya kasar kalau kegiatannya meminta jatah di persulit oleh bajunya. Tapi memang dia saja yang tidak sabar
"Enggak kok, paling di galakin aja." Andin tertawa kecil, ia lepaskan pegangannya pada lengan Zeya.
"Mbak udah tau kan ruangannya dimana?" Zeya mengangguk, Andin hanya mengantar Zeya hingga depan lift, karena Andin ada tugas kelompok. Dia sudah buat janji dengan teman-temannya dan berjanji akan langsung pulang ke apartment kalau tugasnya selesai.
Zeya kemudian memasuki lift, ia tidak sendiri. Ada seorang pria yang lebih dulu masuk
"Kamu Zeya kan?" Zeya menoleh, ia mengangguk pelan. Setelah ia perhatikan lagi, kalau ia tidak salah, pria ini adalah yang pernah ia temui di ruangan Daniel.
"Aku Axel, masih ingat gak? Yang pernah ketemu di ruangan pak Daniel."
"Iya inget." Ucap Zeya mencoba untuk tidak lebih akrab karena tiba-tiba saja kepalanya malah memikirkan Daniel.
"Kamu beneran istrinya pak Daniel?" Zeya mengangguk dengan senyum tipis
"Kenapa?" Terlihat tidak pantas kah sebutan itu untuknya?
"Aku enggak tau kalau bukan pak Daniel yang bilang, soalnya waktu beliau nikah yang di undang cuma jajaran para dosen." Penjelasan Axel hanya Zeya angguki. Tapi beruntung Daniel bisa mengundang para jajaran dosen, Zeya bahkan tidak bisa sekedar menelpon bude Aminah waktu itu.
Lift berhenti di lantai yang Zeya tuju, ia keluar lebih dulu dan berbalik pada Axel yang masih di dalam lift.
"Aku duluan ya." Axel melambaikan tangannya sebentar. Beruntung juga pak Daniel, istrinya masih muda dan cantik. Mengingat pria itu adalah dosen yang paling di takuti nyaris sekampus, Zeya ia lihat sebagai orang yang berhasil menaklukkan Daniel.
Zeya terkejut ketika ternyata ada banyak antrian di depan ruangan Daniel, pasti ingin bimbingan. Zeya memilih duduk, melirik jam pada ponselnya, sudah hampir jam dua siang. Dia lapar, tapi mungkin Daniel sudah makan duluan atas permintaan Zeya tadi waktu terjebak macet. Ada kecelakaan lalu lintas yang membuat jalanan macet sepanjang beberapa meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.