"Zeya mana?" Seperti pagi-pagi biasanya. Lagi-lagi Daniel tidak menemukan keberadaan Zeya di meja makan. Daniel agaknya mulai lelah harus selalu ke dapur dulu tiap kali ingin sarapan.
"Tadi di dapur om" Raisa menjawab, ia sedang di suapi makan oleh Dilara. Di sampingnya duduk sang kakak ipar yang sudah kembali dari Malaysia. Abian namanya
"Mungkin lagi bikin teh, Asih tadi bilang Zeya mau minum teh." Dilara ikut menimpali, Daniel perhatikan, Zeya memang lumayan sering minum teh di pagi hari.
Namun kedatangannya di dapur hanya di sambut oleh Mutia dan Maryam yang sedang menikmati teh mereka di meja makan.
"Zeya kemana?"
"Tadi ke rumah kaca mas, sama Asih." Daniel tidak menjawab ucapan Mutia. Kenapa mereka berdua, Zeya dan Asih gemar sekali berada di rumah kaca sih? Ada apa sebenarnya disana sampai Zeya betah berlama-lama bahkan tidak melayani suaminya di pagi hari ini.
"Zeya?!" Daniel berteriak, membuat Asih dan Zeya yang sedang merapikan anggrek semalam sampai tersentak kaget.
"Tuh kan apa ku bilang! Harusnya tadi kamu layanin suami kamu dulu aja!" Asih mengomel dengan suara pelan pada Zeya
"Ngapain sih kamu pagi-pagi udah disini?" Daniel mendekat dengan ekspresi kesal, walaupun semalam ia sempat berbunga-bunga karena Zeya menciumnya lebih dulu. Pagi ini agaknya ia harus memperingati Zeya untuk tidak kemana-mana sebelum selesai mengurusi suaminya.
"Saya kemarin gak sengaja pecahin pot bunga ibu, jadi sekarang baru mau saya rapiin lagi." Zeya kembali menggunakan kata 'saya' dan Daniel tambah kesal. Tadinya, tapi ucapannya itu membuat kesal itu terkikis.
Mengingat mamanya yang memang dingin pada Zeya, bukan tidak mungkin kalau kesalahan kecil itu bisa menjadi masalah fatal yang seperti tidak punya solusi. Daniel hafal betul sifat mamanya yang tidak mau repot-repot menyembunyikan ekspresi kesal juga amarahnya jika memang orang itu bersalah padanya. Apalagi jika orang itu adalah Zeya
Daniel diam sejenak, menatap lamat bunga anggrek yang kini sudah cantik dan rapi.
"Ayo, saya mau sarapan." Daniel berjalan lebih dulu. Zeya perlu menatap Asih beberapa detik karena tidak mengerti. Apakah Daniel ikut marah padanya karena memecahkan pot bunga mamanya?
"Sana!" Asih mendorong pelan bahu Zeya untuk segera menyusul Daniel. Dengan canggung dan penuh keseganan, Zeya mengambil duduk di sebelah Daniel yang malah sibuk dengan ponselnya.
"Daniel sebenarnya telat, papa udah nungguin dia di kantor." Bisikan Dilara spontan membuat Zeya mencari keberadaan kepala keluarga Lazuardi itu. Memang dia tidak ada pagi ini. Hanya ada bu Meisya di sebelah Abian, yang sibuk menghabiskan sarapannya.
"Suapin aja, biar cepet kelar." Dilara mengisi piring kosong itu dengan nasi goreng dan telur.
Zeya sebenarnya enggan, apalagi di depan seluruh orang yang duduk di meja makan ini. Lagi pula Daniel bukan Raisa yang makan harus di suapi supaya cepat selesai. Namun, dia juga terlambat karena mencarinya. Walaupun sebenarnya Zeya sayangkan tindakannya itu. Kenapa tidak sarapan saja duluan? Dengan tangan yang seperti gemetar, Zeya sendokkan nasi goreng itu dan mengarahkannya pada Daniel. Daniel menoleh, menatap Zeya masih dengan diam namun tetap menerima suapannya.
"Om Daniel manja banget ya Raisa?" Daniel mendengar ucapan kakak iparnya itu.
"Iya, payah." Raisa menjawab setuju ucapan ayahnya.
"Daniel anak bungsu Zey, dulu waktu kecil dia emang manja. Jadi kalau lain kali manjanya kumat, kamu jangan kaget ya?" Itu ucapan Dilara yang tidak Zeya benarkan. Agaknya selama hampir dua bulan ini mereka menikah, yang ada Daniel itu tegas juga galak kadang-kadang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.