"makasih ya Daniel, maaf gue ngerepotin lo." Daniel mengangguk dengan senyum tipis. Hari sudah pagi, ia menemani Tasya di rumah sakit sejak semalam.
"Maaf ya, gue terpaksa nelpon lo. Soalnya gue telpon papa ternyata dia lagi di bandung." Ayahnya yang memang rutin pulang balik Bandung-Jakarta kadang kala merepotkan.
"Iya gak papa, gak usah ngerasa gak enak." Daniel mengusap sekali bahu Tasya. Dia menelpon Daniel yang dalam perjalanan. Satya mengalami kecelakaan, Tasya yang bingung hendak menghubungi siapa untuk membantunya-, menjadikan Daniel sebagai pilihan.
Satya sudah di tangani, dia mengalami cedera ringan di bagian bahu dan kakinya karena terjatuh dari motornya. Mereka berdua tau, Satya yang memang sangat menggilai motor kerap mengalami hal seperti ini.
"Kalau gitu gue pulang ya?" Sudah ada orang tua Satya yang datang dari beberapa menit lalu, juga ayah dan ibu Tasya yang baru saja sampai. Daniel yang semalam memang sudah gelisah ingin pergi menuntaskan masalahnya sendiri, sayangnya. Seorang Tasya masihlah memiliki pengaruh baginya
"Iya, sekali lagi makasih ya." Tasya memeluk Daniel secara singkat, pelukan yang Daniel balas sangat sebentar juga penuh kerisauan.
Ia beranjak dari sana dengan buru-buru, ia hanya pulang ke rumah kurang dari sepuluh menit. Hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia menghiraukan pertanyaan mamanya yang bertanya mengapa semalam tak pulang. Yang Daniel yakin dia sudah tau alasannya karena ibu Tasya pagi tadi terdengar bertelepon dengan dia.
Kedua wanita paruh baya yang akrab, namun hubungan erat itu tidak membuat Daniel dan Tasya bersama.
Daniel enyahkan segera pikiran itu dari kepalanya, semalam suntuk ia habiskan dengan hanya memikirkan Zeya. Ada apa sampai dia memilih pulang ke desa tanpa seizinnya? Kenapa dia menangis dan meminta maaf?
Ia berangkat pukul delapan pagi tadi, sudah nyaris malam ketika ia sampai karena perjalan jauh dan penuh kemacetan. Ia langsung menyambangi rumah bude Aminah. Ada Anya di teras luar sedang bermain dengan bonekanya.
"Daniel?" Aminah datang dari dalam, terkejut mendapati Daniel berada di rumahnya. Anya juga menyadari itu, ia berdiri dengan canggung di sebelah Aminah.
"Anya masuk ya? Kerjai PR-nya" Anya mengangguk, menatap pada Daniel sekilas lalu langsung masuk.
"Duduk nak" sebenarnya ia enggan berbasa-basi. Ia hanya ingin segera masuk dan menemui Zeya, juga melihat bagaimana keadaannya setelah tanpa alasan yang jelas membuat orang lain khawatir.
"Zeya mana bude?" Daniel melepas sepatunya, ia mendekat pada bude Aminah.
"Ada, lagi istirahat." Jawaban singkat yang amat membuat Daniel gemas.
"Saya___
"Zeya sudah cerita, dan apapun keputusan kalian akan bude hormati." Daniel sampai mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan bude Aminah.
"Zeya pergi tanpa seizin saya bude__
"Iya, pasti karena dia malu." Daniel menolak duduk, maka mereka berdiri berhadapan. Aminah menyaksikan ekspresi tidak mengerti dari Daniel dengan jelas
"Kenapa harus malu? Memang ada apa?" Dan benar, ia tidak mengerti masalahnya. Apakah semua wanita memang begini? Merasa punya masalah dan tiba-tiba hilang padahal sebenarnya masalah itu bisa di bicarakan baik-baik? Atau paling tidak buat dia mengerti terlebih dahulu. Kenapa begitu rumit?
"Kamu gak tau?" Daniel menggelengkan kepalanya. Sudah sangat tidak sabar menemui Zeya.
"Zeya___
"Saya cuma mau dengar penjelasan dari Zeya bude." Karena ini memang sepertinya menyangkut mereka berdua. Maka Daniel menolak siapapun untuk ikut campur.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.