IN OMNIA PARATUS

10.4K 1K 62
                                    

Zeya sampai di desa, ia tidak langsung pulang kerumah. Pukul lima sore, ia mendatangi makam yang sepi. Duduk di dekat makam ibunya dan menangis tanpa bersuara. Ada banyak hal yang ingin diceritakan, di pastikan, juga butuh di dengarkan. Tapi percuma, mau Zeya tumpahkan semuanya sampai habis pun tidak akan membuatnya lega.

Pak Daniel bilang akan membantunya, ingin membuatnya bahagia, ingin membuat Andin dan Anya nyaman. Kenapa? Karena ia tau Zeya sendirian dan ayahnya di penjara? Karena dia kasihan? Atau sebagai balasan karena Zeya telah menyerahkan diri? Atau bagaimana?

Dan bagaimana mungkin Zeya menerima itu ketika ia tau bu Meisya tidak menerimanya. Zeya tidak ingin dianggap memanfaatkan harta pak Daniel, juga ia mengerti bahwa rasanya ia sudah tidak memiliki wajah lagi untuk bertemu dengan pak Daniel. Ayahnya adalah orang yang terlibat dengan keluarga Lazuardi. Sebagai penjahat juga pembunuh. Zeya tidak mengerti dan tidak tau mau menjelaskannya bagaimana, ada rasa tidak nyaman setelah mengetahui itu, ada rasa bingung karena pak Daniel atau siapapun di sana tidak mengatakan apapun padanya, ada rasa kesal, kenapa harus keluarga Lazuardi.?

"Zeya? Itu kamu?" Petang sudah tiba, hari pelan-pelan berubah malam. Dan Zeya masih betah disana. Sampai pria tua yang memang rajin membersihkan makan disini mendatangi Zeya.

"Udah ya nak, di sambung besok lagi ziarah nya. Ini udah malam, udah mau gelap." Zeya hanya mengangguk, mengusap matanya juga wajahnya yang nampak lelah.

Zeya akhirnya memilih pulang, benar kata Andin. Rumah sedang dalam proses renovasi dan ia tidak mungkin tidur disana. Maka Zeya berbelok menuju rumah bude Aminah.

"Mbak Zeya!" Anya meninggalkan buku gambarnya lalu berlari memeluk Zeya.

"Zeya? Kok..disini?" Aminah menatap Zeya dengan keterkejutan. Seingatnya Zeya baru pulang kemarin, kenapa tiba-tiba dengan mata sembab dia sudah disini?

"Aku__

"Anya, lanjut lagi gambarnya." Aminah mengerti, ia menuntun Zeya masuk dan duduk di sofa.

"Andin mana?" Tanyanya ketika sudah duduk di salah satu kursi

"Ke warung, tadi bude suruh beli gula." Zeya mengangguk, ia bersandar pada kursi karena merasa tubuhnya mulai pegal. Sebenarnya dia lapar, harusnya dia lapar karena belum memakan apapun kecuali roti di pagi tadi. Sekarang sudah pukul enam, Zeya bahkan belum meneguk setetes pun air.

"Kamu kenapa nak? Baik-baik aja kan?" Aminah mengusap lengan Zeya, dari wajahnya saja ia sudah tau kalau Zeya sedang tidak baik-baik saja.

Zeya sebelumnya menoleh ke tempat Anya, memastikan ia tidak perlu mendengar percakapannya ini.

"Bude tau, kalau ayah aku itu merampok toko emas?" Aminah mengangguk, semua juga tau. Kenapa Zeya bertanya?

"Dia merampok toko emas siapa, bude tau?" Aminah menggeleng kali ini.

"Ibu kamu aja gak tau Zeya, karena ayah kamu memang gak cerita. Kenapa kok tiba-tiba bahas itu lagi?" Zeya tidak pernah lagi mau membahas ini sejak ia gagal menahan polisi yang membawa ayahnya.

"Bude...

Zeya kembali ingin menangis, ia merasa tenggorokannya mulai perih. Sebenarnya Zeya mengerti ayahnya memang patut di hukum, ia tidak marah pada pak Daniel atau siapapun keluarga Lazuardi yang terlibat, karena ayahnya memang bersalah dan ia harus tanggung jawab.

Zeya hanya tidak menyangka. Mungkin ini juga alasan mengapa bu Meisya tidak mau menerimanya. Dia anak kriminal. Seorang pembunuh.

Tetap bersama pak Daniel hanya merusak citranya saja. Selain harta tahta juga pendidikan yang tidak setara, fakta bahwa dia adalah anak dari seorang narapidana semakin membuat perbedaan itu semakin besar dan Zeya semakin pula menyadari bahwa pernikahan ini tidak layak di pertahankan. Apalagi tidak ada cinta diantara mereka, tidak pada Zeya, dan pastinya tidak pada pak Daniel.

Pria itu hanya sedang mencoba untuk tidak menyakitinya, dia sedang menjalankan perannya sebagai suami, pada dasarnya memang dia pria yang baik. Kepedulian serta perhatiannya adalah bentuk nyata dari dirinya yang memang hanya mencoba menjadi baik. Tidak ada cinta disini

"Ayah merampok toko emas punya bu Meisya, punya mamanya pak Daniel. Keluarga Lazuardi adalah yang melaporkan ayah ke polisi." Aminah terdiam, Zeya tau dia juga terkejut.

"Zeya.. kamu mengerti kan kalau ayah kamu memang bersalah?" Zeya mengangguk mendengar ucapan lembut Aminah barusan.

"Mereka tau kamu anaknya dan mengusir kamu?" Jika iya, biar Aminah datang pada Daniel dan menanyakan maksudnya. Bukannya dia sudah bilang bahwa Zeya adalah miliknya dan apapun masalahnya?

"Enggak bude, aku yang pulang..aku malu" Zeya benar menangis lagi, ia menunduk menutupi wajahnya, membiarkan Aminah mengusap kepalanya pelan.

"Bude..aku rasa pernikahan ini sebaiknya di selesaikan aja. Apalagi aku gak cinta sama pak Daniel dan pak Daniel juga begitu. Gak ada alasan untuk kita tetap sama-sama." Ucapan Zeya itu membuat Aminah seperti tidak tau mau menjawab apa. Pernikahan itu adalah milik Zeya, dia yang berhak dan dia yang paling tau apa yang terjadi di dalamnya.

Tapi mengakhiri pernikahan seperti yang dikatakan Zeya agaknya tidak dapat ia terima. Setelah pembicaraannya dengan Daniel hari itu, pria itu terlihat tulus. Atau dia salah?

"Pikirin baik-baik nak, apalagi kalian nikah belum lama." Memang. Tapi Zeya bingung sekarang. Pak Daniel juga sudah tidak menelponnya lagi sejak berjam-jam lalu. Itu berarti dia tidak keberatan.

"Mending kamu istirahat dulu" Zeya menurut, ia masuk ke kamar dan Andin pulang tidak lama kemudian. Ia terkejut, dan Andin menceritakan hal yang sama seperti yang ia ceritakan pada bude Aminah. Dan mereka memiliki pendapat yang sama, Zeya di minta berfikir ulang jika ingin bercerai.

"Atau... kita bisa lanjutin hidup kita mbak. Mbak ambil keputusan mbak sendiri, jadi gimana kalau sebaiknya aku kerja aja supaya__

"Andin, aku udah capek banget bilang ini ke kamu. Kamu tugasnya sekolah, selebihnya adalah urusan aku. Jadi udah." Andin bungkam, sebenarnya dia adalah pihak yang marah juga kecewa pada ayahnya. Karena meski cobaan memang berat, utang dimana-mana. Pilihan ayahnya malah merampok.

Ponsel Zeya berdering, sialnya ia berfikir itu adalah pak Daniel. Tapi tidak, yang menelponnya adalah nomor asing. Zeya mengangkatnya dengan ragu

Ini saya, kamu dimana kok gak pulang-pulang? Daniel sampai marah loh sama saya.

Suara tegasnya itu membuat Zeya langsung sadar bahwa si penelpon adalah bu Meisya.

"Maaf bu..saya di rumah sekarang. Di kampung." Bu Meisya pasti menganggapnya begitu tidak tau diri. Datang dan pergi begitu saja juga tanpa pamit

Daniel ikut kamu?

"Enggak bu, saya sendiri." Dan tanpa pamit pada siapapun. Sungguh sangat tidak sopan.

Semakin jelek saja ia di mata bu Meisya.

Oh..berarti bener nemenin Tasya ya? Saya kira dia nyusul kesana. Yaudah kalau gitu.

Terdengar sangat santai, tanpa kekhawatiran sedikit pun. Tasya? Menemani Tasya? Dia kenapa memangnya?

Tapi cepat-cepat Zeya singkirkan pikiran itu dari kepalanya. Daniel lebih memilih dia, maka itu bagus. Maka perceraian itu kini punya alasan.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang