Daniel sungguhan tidak tau, tetangga sebelah alias si Sadip itu-, punya kebun di belakang rumahnya atau memang tukang buah? Sudah berapa kali dia datang dan membawakan buah?
"Manis banget mbak, cobain deh." Andin hari ini datang karena di panggil Zeya, mereka sedang bekerja sama membuat makan malam saat Sadip beberapa menit lalu datang membawakan mangga. Mangga yang tidak sudi untuk Daniel cicipi
"Dia kayaknya enggak mungkin tukang buah deh mbak, ganteng dan keren gitu kok." Ucapan Andin itu masih Daniel dengar dari posisinya yang duduk di ruang tengah. Menyalakan tv namun sibuk dengan laptopnya.
"Mungkin di rumahnya dia tanam buah-buahan." Zeya juga tidak tau karena mereka tidak cukup dekat untuk saling cerita soal kehidupan masing-masing. Dan Zeya memahami Daniel agaknya tidak suka ia berinteraksi dengan Sadie.
"Besok jadi gak mbak? Mbak udah izin?" Suara Andin memelan, ia mendekat pada Zeya yang sedang fokus dengan masakannya.
"Belum sih, rencananya nanti malam aja." Andin mengangguk. Ngomong-ngomong, Dilara mengajak mereka berdua untuk jalan-jalan bertiga. Kebetulan besok Andin libur, Raisa ada les renang lalu piano, maka Dilara memutuskan untuk mengajak Andin dan Zeya untuk jalan-jalan bertiga. Mengingat Daniel agak susah di mintai izin, Zeya khawatir wacana ini gagal lagi.
"Aku ke toilet dulu ya mbak, mules." Zeya mengangguk, ia tertawa kecil melihat Andin berlari menuju kamar mandi. Dia sudah makan lima biji mangga sendirian dan belum makan nasi seharian. Mungkin perutnya jadi bermasalah.
"Masak apa?" Daniel datang, seperti kebiasaannya yang entah sejak kapan-, kebiasaannya memeluk Zeya dari belakang sudah membuatnya terbiasa.
"Udang" ucap Zeya, dua hari yang lalu waktu Dilara datang kesini, ia memberikan Zeya banyak resep yang sekarang sedang Zeya praktikan salah satunya.
"Andin mau nginap?" Zeya menggeleng, menjauhkan lengannya yang di kecup Daniel.
"Lain kali kalo Sadip dateng bawa mangga, kamu tolak aja, emang kita enggak bisa beli mangga apa? Sampe berkali-kali dia datang kesini bawa mangga." Daniel kesal jujur saja, apalagi senyum lebar Zeya ketika menerima mangga itu membuatnya cemburu.
"Namanya juga orang berbagi, masa kita___
"Dengerin aja kalau suami ngomong, saya gak suka Sadip terus-terusan kesini." Zeya menolehkan kepalanya, ekspresi dan nada suara Daniel barusan sama-sama serius.
"Kamu mau coba mangganya?" Wajah Zeya dekat sekali dengannya, kedua mata Daniel malah menatap bibir Zeya yang tidak pernah membuatnya bosan.
"Saya lebih tertarik cobain ini" Daniel menunduk hendak mencium Zeya, tapi tidak dapat karena Zeya menghindar.
"Boleh tolong kamu ambil piring terus taruh di meja makan?" Daniel tercengang mendengarnya. Zeya menyuruhnya barusan? Siapa orang-orang di sekitarnya yang berani menyuruhnya? Biasanya orang-orang yang selalu menyediakan banyak hal untuknya tanpa ia suruh.
"Boleh" tapi dia Zeya, menolak keinginannya yang selalu sederhana belum pernah bisa Daniel tolak.
Ia mengambil piring dari lemari, membawanya ke meja makan yang tidak jauh dari dapur. Bahkan mengambil gelas dan air minum untuk mereka bertiga. Andin datang, membantu Zeya membawa makanan hasil masakannya ke meja makan.
"Gimana kuliah kamu Andin?" Andin tersentak kecil, ia baru saja ingin menyendokkan udang ke piringnya ketika Daniel tanpa melihat kearahnya-, melemparkan pertanyaan barusan.
"Baik kok pak, lancar." Andin sedari dulu hingga sekarang memang belum bisa bersikap biasa di depan Daniel
Daniel cuma mengangguk, menyerahkan piringnya pada Zeya untuk di isi. Makan menjadi menyenangkan sejak menikah, karena ada Zeya yang melayani dan memastikan dirinya tidak kekurangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.