BEFORE YOUR MEMORY FADES

15.8K 1.2K 12
                                    

Pukul dua belas siang, Daniel tadi pamit keluar. Katanya ingin bertemu dengan seseorang yang tidak berani Zeya tanyakan detailnya. Ia dan Mutia baru saja selesai membereskan dapur, tadi Mutia menolak di bantu, tapi dengan tegas Zeya mengatakan bahwa statusnya tidak berubah, dia tetap akan membantu Mutia.

Zeya dengan dress panjang dan tas kecilnya berniat untuk ke ATM terdekat. Ia ingin mengirim uang delapan ratus ribu yang Andin minta pagi tadi. Bersamaan dengan keluarnya dia dari dapur, bu Meisya turun dari lantai atas. Zeya selalu menyapanya dengan sopan tiap bertemu, tapi setelah kejadian kemarin, Zeya merasa luar biasa canggung.

"Siang ibu?" Meisya melirik Zeya sekilas, ia hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Ia duduk di salah satu kursi meja makan, menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya. Melihat Zeya masih berdiri disana dengan ekspresi canggung yang kentara-, Meisya kembali melihat padanya.

"Saya boleh izin keluar sebentar bu?" Ucap Zeya ketika bu Meisya memusatkan mata padanya.

"Silahkan" jawabnya pendek. Zeya menundukkan kepalanya sebagai tanda pamit. Jantungnya seolah sehabis lari marathon.

Bersamaan dengan Zeya yang keluar rumah, ia bertemu dengan Daniel di teras. Sudah pulang kah? Zeya rasa dia baru pergi sebentar.

"Mau kemana?" Daniel mengernyitkan dahinya, ia memutuskan pulang lebih cepat. Karena memang salah satu mahasiswanya yang tidak tau Daniel sedang cuti-, meminta untuk bimbingan. Daniel hanya menemui sebentar, mengecek beberapa hal, memberi beberapa masukan, lalu pamit pulang.

Zeya yang entah kenapa tidak pernah mau melihatnya, sama seperti kali ini. Ia menatapnya sangat sebentar, Daniel mengerti dia sedang gugup juga canggung. Daniel juga sebenarnya masih merasa canggung. Tapi itu dua hari lalu. Hari ini terutama semalam, dan akan seterusnya, Daniel sudah tidak.

"Saya permisi mau ke ATM dulu pak" ucap Zeya dengan satu kali tarikan nafas, ia cepat-cepat melewati Daniel.

"Gitu caranya pamit ke suami?" Zeya spontan berhenti, ia membalikkan badannya menatap Daniel.

"Saya__

Ucapan Zeya tidak selesai, Daniel mengulurkan tangannya pada mobilnya yang terparkir dekat dengan Zeya. Membuka kuncinya hingga mengeluarkan bunyi

"Masuk mobil, saya ambil sesuatu dulu." Apakah itu artinya Daniel ingin ikut. Tidak, jangan. Zeya tidak mau pak Daniel atau siapapun mengetahui urusannya

"Saya bisa pergi sendiri pak" ucap Zeya lalu kembali melanjutkan langkahnya.

"Zeya! Masuk mobil, tunggu disana. Saya enggak lama." Ucap Daniel di sertai tekanan, nadanya juga agak tinggi. Dan Zeya merasa ia telah membuat pak Daniel marah.

Daniel yang tidak mau dengar Zeya membantah lagi-, langsung masuk ke dalam rumah dan mengambil dompetnya yang tidak ia bawa tadi.

Namun ketika dia keluar, Zeya malah tidak masuk ke mobil. Ia bersandar pada belakang mobilnya nampak sedang melamun. Daniel menggelengkan kepalanya

Jarang-jarang ia mau sabar menghadapi orang keras kepala. Andai Zeya bukan istrinya, pasti sudah Daniel marahi.

"Kenapa enggak masuk?" Zeya tidak menjawab, Daniel menghela nafas. Mengambil tangan Zeya dan menuntunnya masuk ke mobil, juga memasangkan seat belt untuknya.

Mereka sampai di lokasi ATM terdekat, Zeya langsung turun tanpa menunggu pak Daniel. Sebenarnya dia tidak mau begini, Zeya tidak mau pak Daniel lihat apa yang ingin dia lakukan. Tapi mana mungkin dia mengusirnya

"Sekarang transfer uang bisa dari rumah, online." Zeya tersentak, ia berbalik dan menemukan pak Daniel ternyata mengikutinya.

Dan memang benar ucapannya, sekarang semua serba praktis. Tapi Zeya yang tidak tau caranya. Lagi pula, ponselnya yang rusak itu apa mampu.?

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang