Zeya bangun lebih dulu, pusing di kepalanya masih tersisa. Tapi setidaknya panas di tubuhnya sudah hilang. Segera ia ke kamar mandi untuk berganti dan membersihkan diri. Daniel masih diatas kasur dan tertidur pulas sekembalinya Zeya. Sebuah hal wajar jika ia akan terlambat bangun, semalam dia rasanya tidak tidur karena terus mengecek keadaan dan memastikan Zeya tidak kedinginan.
Ia keluar dari kamar, menuju dapur dan mendapati Andin serta bude Aminah di meja makan.
"Anya mana?" Tanya Zeya pertama kali, ia duduk di sebelah Andin.
"Dia ada acara di sekolah, lomba gitu kalau gak salah, Aku udah ngomong sama gurunya." Zeya mengangguk, menuangkan teh ke dalam cangkir miliknya.
"Gimana? Masih pusing?" Aminah ikut bergabung dan Zeya menjawab pertanyaannya dengan menggeleng.
"Kemarin..aku kira mbak hamil" Zeya terkejut, hampir menyemburkan tehnya keluar akibat ucapan Andin.
"Enggak" meskipun itu wajar, adanya anak dalam pernikahan adalah sebuah kebahagiaan. Tapi bagi Zeya, ia tidak ingin adanya anak diantaranya dan Daniel.
"Daniel masih tidur?" Zeya hanya mengangguk lagi, ia bingung. Kenapa pria itu malah datang kemari membawa serta keluarganya.
"Pak Arya sama mbak Dilara ngomongin apa aja bude?" Aminah memang bercerita banyak. Kedua orang itu. Arya dan Dilara adalah pribadi yang baik dan sopan.
"Pak Arya kemarin minta maaf karena bu Meisya gak bisa ikut" bahkan Arya mengucapkan janji bahwa nanti kapan-kapan ia akan kembali dan membawa istrinya ikut serta.
"Mbak..mamanya pak Daniel orangnya sibuk banget ya?" Andin hanya penasaran. Dia pasti lebih sibuk dari suami dan anaknya hingga sekedar mampir kesini beberapa jam dia tidak sanggup
"Iya, mungkin." Nyatanya. Sedang sibuk atau tidak, dia memang tidak akan mau menyempatkan satu detik pun waktunya untuk datang kemari.
"Zeya..pak Arya dan mbak Dilara meminta maaf kemarin. Atas apa yang menimpa ayah kalian" Zeya hanya diam mendengarkan, Andin menundukkan kepalanya.
"Mereka bilang, andai ayah kamu gak membunuh, mungkin hukuman bisa di ringankan bahkan di bebaskan dengan jalan damai." Itu ucapan Dilara yang di setujui Arya kemarin.
"Tapi membebaskan ayah kamu bisa membuat keluarga korban sakit hati..mereka sedang dalam usaha mencari jalan keluar" Aminah menyambung, ia ikut sedih melihat Andin sampai meneteskan air mata mendengar topik ini di bahas. Meskipun Andin bilang ia benci ayahnya sejak kasus itu, Aminah tau dan mengerti bahwa ia hanya kecewa dan rasa sayangnya tidak akan hilang. Andin hanya masih marah
"Jalan keluar bagaimana bude? Ayah emang salah dan dia wajib di hukum" Zeya bukan tidak mau berusaha. Namun di pandang dari sisi mana pun ayahnya memang bersalah. Zeya mungkin mau membayar pengacara untuk mencari keringanan, tapi dari mana uangnya?
"Kalau begitu ini gak ada hubungannya sama pernikahan kalian, Daniel gak tau kamu anaknya. Daniel gak tau kalian keluarganya." Ya. Zeya membenarkan ucapan bude Aminah. Selain Daniel tidak tau, dia juga tidak peduli. Karena jika iya, ayahnya tidak di penjara sekarang. Pada dasarnya keluarga Lazuardi memang tidak peduli dengan keluarga pelaku dan Zeya akan maklumi itu. Satu-satunya hal di pikiran mereka kala itu pasti hanyalah sebuah hukuman yang pantas untuk Ahmad Jaya.
"Tapi ayah ngelakuin ini demi kita" Andin berucap dengan nada pelan. Ia sedih tapi juga kecewa.
"Tapi pak Daniel juga gak tau apa-apa" Andin kembali menyambung, dan Zeya bingung menatapnya.
"Jadi mbak harusnya gak perlu pikirin__
"Gimana mungkin gak di pikirin?" Andin langsung diam, Zeya jarang sekali marah padanya. Maka melihat kedua tatap matanya yang dingin membuat Andin seperti membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.