BEFORE YOUR MEMORY FADES

2.8K 294 12
                                    

Boleh, tapi sama saya.

Itu kalimat pak Daniel kemarin yang masih terulang di kepala Zeya hingga hari ini. Bukan Zeya tidak mau Daniel ikut, tapi kalau memang bisa tidak ikut Zeya lebih pilih itu. Zeya tidak tau mau melarang pak Daniel dengan cara apa, karena jujur saja Zeya tidak mau pak Daniel lihat bagaimana kehidupannya di kampung. Juga selain keluarganya, orang-orang di kampungnya pasti akan kaget ketika ia pulang tiba-tiba dengan seorang pria dan sudah menikah.

Zeya..malu.

Ini sudah jam sepuluh pagi, pak Daniel satu jam lalu pamit keluar. Dia bilang mereka akan berangkat setelah dia kembali dan itu tidak akan lama

Zeya masih belum menemukan cara bagaimana agar dia saja yang pergi, pak Daniel tidak usah ikut. Tapi bagaimana?

Merasa ia berfikir terlalu lama dan buang-buang waktu, Zeya beranjak dari rumah kaca, ia baru saja membuka pintu untuk masuk kembali ke dalam rumah ketika bu Meisya juga datang.

"Saya..habis nyiram tanaman bu" Zeya sengaja bilang begitu, supaya bu Meisya tidak berfikir dia hanya santai-santai di jam kerjanya.

"Asih kemana?" Meisya memang belum tau, kalau tugas itu dialihkan pada Zeya oleh Asih sendiri.

"Dia lagi bersihin lantai dua tadi bu." Zeya sudah menawari dirinya untuk membantu, tapi kata Asih dan Maryam mereka berdua saja sudah cukup.

"Kalau gitu..permisi bu" Zeya batal melangkah karena bu Meisya menahannya. Wanita lima puluh tahunan itu mengambil duduk di salah satu kursi taman.

"Di kampung kamu tinggal sama siapa?" Apa Zeya sudah pernah bilang bahwa berat baginya menceritakan soal kehidupannya? Seingatnya ia sudah. Ia sudah katakan garis besarnya pada bu Meisya bahwa orang tuanya tidak ada. Ayahnya di penjara, dan ibunya meninggal dunia. Zeya memang tidak menceritakan alasan di balik kedua hal itu dan bu Meisya memahaminya. Lalu ada apa dengan pertanyaannya barusan?

Zeya diam cukup lama, ia memang sudah mengetahui tanpa perlu bu Meisya jabarkan-, bahwa perbedaan diantara mereka begitu jauh terbentang, pak Daniel yang seenaknya mengambil keputusan juga dirinya yang bodoh karena begitu payah dalam mempertahankan pendiriannya. Zeya masih tidak bisa berdamai dengan keadaan. Sejujurnya, sejak beberapa hari belakangan ini, ada niat yang sedang berusaha ia susun rencana penyampaiannya. Karena entah kenapa, menatap tepat pada kedua bola mata pak Daniel begitu sulit untuk di lakukan.

Ketika bahkan pria itu memeluknya diatas kasur, atau ketika dia menciumnya, Zeya akui karena ia begitu bodoh karena menerima semua itu karena dia takut menolak. Ketika akhirnya dia menolak pun, pak Daniel ternyata jauh lebih mampu membuatnya tetap menurut.

"Saya...ada dua adik bu" ucap Zeya, pandangannya menunduk memilih menatap lantai.

"Oh ya? Kamu punya adik, umurnya berapa?" Meisya kembali mempertanyakan hal yang sebenarnya sudah ia tau detail nya dari Asih.

"Andin udah SMA, sebentar lagi lulus. Anya masih SD." Zeya membalas dengan suaranya yang pelan. Dia baru beberapa bulan merantau kesini, itu adalah alasan kenapa menyebut nama kedua adiknya saja dia ingin menangis karena rindu.

"Saya dengar dari Asih, ibu kamu baru meninggal bulan lalu." Zeya mengangguk membenarkan, ia memberanikan diri menatap pada bu Meisya kali ini.

"Sakit apa?" Meisya menatap lurus pada Zeya, dari pergerakan gadis itu saja sebenarnya dia sudah mengerti bahwa Zeya memang tidak nyaman dengan obrolan ini. Namun Meisya ingin mendengar darinya secara langsung.

"Ibu...dia___

Dia belum bisa ternyata..Zeya belum sanggup menceritakan itu. Tidak pada siapapun. Zeya kembali menunduk, merasa air matanya mulai mendesak ingin keluar, tapi tidak di hadapan siapapun.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang