Pada akhirnya, Zeya dan Daniel sampai juga ke tujuan mereka yang sebenarnya. Daniel adalah yang memimpin kali ini, menjenguk seseorang di dalam penjara nyatanya tidak semudah itu. Tidak bisa asal masuk juga langsung masuk.
Zeya dan Daniel masuk ke dalam ruang kunjungan, mereka hanya punya waktu lima belas menit. Di lima belas menit itu, bagaimana mungkin Zeya dapat dengan lengkap memberitahukan statusnya sekarang?
"Ayah?" Ahmad jaya nampak terkejut, dia mendekat pada Zeya dan membiarkan Zeya mencium tangannya. Di ikuti dengan Daniel, yang membuat Ahmad semakin bingung. Dia memang sudah tua, sudah lima puluh lebih usianya, tapi dia tidak lupa siapa pria di depannya ini. Kenapa dia disini dan bersama Zeya?
"Saya bawa makanan, buat..ayah" Daniel dengan ragu dan amat canggung mendorong pelan beberapa makanan ringan juga kue sebelum kesini tadi.
"Daniel Lazuardi?" Daniel mengangguk pelan, dia ternyata masih ingat ketika Daniel memperkenalkan diri hari itu. Dia sungguh merasa berdosa ketika di masa lalu pernah menarik kerah baju Ahmad Jaya ketika pertama kali di pertemukan oleh polisi. Hari itu, emosinya lumayan tersulut. Bukan karena dia mencuri emas, tapi karena dia adalah pembunuh.
"Ayah...aku datang kesini mau bilang sesuatu." Ahmad menunggu dengan sabar, kedatangan mereka berdua memang mengherankan.
"Aku udah nikah, sama pak Daniel." Zeya terbata, lima belas menit itu amat sangat tidak cukup dan Zeya butuh waktu untuk memilah kata.
"Maksud kamu?" Ahmad menatap Zeya dengan tajam. Lelucon apa yang baru saja dia dengar?
"Kamu menikah sama orang yang menjebloskan ayah ke penjara?"
"Aku bisa jelasin yah, tapi gak disini. Pak Daniel___
"Tapi itu benar, saya dan Zeya sudah menikah. Dan memang benar, saya adalah yang memasukkan anda ke penjara. Tapi bukan tanpa alasan kan? Anda hari itu juga mengakui kesalahan anda sendiri." Ahmad dan Zeya kompak diam ketika Daniel mulai angkat suara.
"Saya enggak tau kalau Zeya adalah anak anda. Tapi tetap gak berpengaruh, hukuman anda tetap di harus jalankan dan saya sudah gak punya kuasa disana." Daniel sudah pernah berbicara dengan ayahnya, pencabutan hukuman hanya bisa di lakukan oleh keluarga korban. Yang jujur saja tidak Daniel ketahui dimana keberadaannya sekarang.
"Jadi kamu akan tetap membiarkan saya disini? Zeya?" Zeya menelan ludah, entah kenapa Zeya merasa ayahnya sedang berharap. Mengharapkan sesuatu dari hubungannya dengan Daniel. Tapi bagaimana caranya dia mengatakan bahwa hubungan ini sebenarnya tidak bisa ia tempati berharap?
"Maafin aku yah" dan Zeya memang tidak bisa melakukan apapun selain jujur. Dia buta hukum. Dan keputusan itu juga tidak ada pada Daniel. Kalau pun memang ada, dia benar. Hukuman itu harus tetap di jalankan. Apalagi ayahnya sendiri juga sudah mengakui perbuatannya.
"Ayah kecewa sama kamu" waktu besuk itu habis bertepatan ketika Ahmad berdiri meninggalkan Zeya dan Daniel. Ia juga tidak menerima makanan yang Daniel belikan. Zeya merasa risau.
"Gak papa, ayah pasti akan ngerti." Zeya terdiam menatap kepergian ayahnya yang semakin jauh. Ia seperti ingin menangis, dan Daniel hanya mampu mendekat dan mengelusi punggung Zeya
____
Tentu saja, Daniel sudah menduga Zeya akan kembali pasif. Di dalam mobil ia hanya menatap ke depan dengan pikiran melayang entah kemana. Daniel kira selama ini dia sudah jadi orang yang asik. Teman-temannya bilang mengobrol dengan Daniel selalu seru. Daniel pernah menyetujui itu, tapi di depan Zeya dia ternyata nol besar.
Ia tidak tau mau berbuat apa agar Zeya tidak banyak diam di depannya. Bahkan ketika diatas ranjang pun, Daniel menyadari Zeya itu menahan suaranya. Zeya hanya tidak tau bahwa Daniel suka mendengar suaranya, meski dengan nafasnya yang tidak teratur. Sial. Daniel mengumpat dalam hati ketika ingatannya malah dengan kurang ajarnya mengingat Zeya dalam keadaan... Ok Daniel, cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.