RUMINATE

16.2K 1.4K 143
                                    

Daniel yang seolah tidak ingin tinggal lebih lama, pagi hari setelah sarapan-, ia meminta Zeya untuk bersiap karena mereka akan segera pindah. Zeya perhatikan, Daniel bahkan tidak ke kantor atau tidak ke kampus dua harian ini.

Sementara Zeya, masih dengan keterdiaman serta pikirannya yang tidak mau diam. Memikirkan bu Meisya yang semakin marah padanya karena akhirnya Daniel memutuskan untuk keluar dari rumah ini, juga bagaimana dengan Satya yang sejak semalam Zeya dengar terus saja menelpon Daniel. Zeya sampai bingung ingin mempercayai yang mana, Satya yang bilang Daniel tau keberadaan Tasya, atau Daniel yang mengaku tidak tau.

Susah memang punya kebiasaan selalu berfikir berat.

Zeya sembari memasukan beberapa bajunya ke dalam tas, ketika Daniel datang berniat mengambil kopernya yang sudah ia bereskan sendiri.

"Sudah?" Zeya menggeleng pelan, juga tanpa melihat kearah Daniel. Ia akui ia sangat lambat mengerjakan banyak hal sekarang, bahkan melipat bajunya yang tidak seberapa ini sudah ia kerjakan satu jam lalu, tapi sampai sekarang belum selesai juga. Zeya lebih banyak melamun.

"Kenapa lama banget sih?" Meski terdengar menggerutu, Daniel tetap duduk di lantai berhadapan dengan Zeya dan membantunya melipat beberapa baju Zeya.

"Aku aja" Zeya mengambil cepat baju dalamnya yang di pegang Daniel. Mungkin tidak sengaja, tapi Zeya malu pakaiannya di lihat dan di pegang Daniel.

"Kamu lama" Daniel menjawab sembari mengambil baju lain dan melipatnya.

Hening beberapa lama, Daniel nampak serius di depannya melipat pakaian-pakaian Zeya.

"Kira-kira kenapa ya ayah bunuh diri?" Satu lagi hal yang belum bisa lepas dari kepala Zeya, terus ia pikirkan sejak hari pertama ia di kabari ayahnya meninggal.

Pertanyaan itu benar-benar membuatnya penasaran, meski sekarang Zeya hanya menatap baju-baju juga tangannya yang tidak berhenti melipat bajunya.

Daniel yang sejenak membeku, ia menunduk menatap lantai. Sebenarnya dia tidak ingin Zeya mendengar ini, ia tidak ingin Zeya lebih sedih lagi. Tapi Daniel juga tidak mau Zeya berfikir yang tidak-tidak soal ayahnya yang bunuh diri

"Orang yang saya bayar untuk memantau ayah..dia bilang sikap ayah memang udah beda beberapa hari sebelum bunuh diri." Zeya menatap pada Daniel, yang juga kini menatap pada Zeya.

"Ayah gak bicara sama siapapun di dalam selnya, jarang makan, juga sempat sakit." Zeya berhenti, merasa rasa sedih yang belum surut itu kembali ingin menguasai.

"Ayah mungkin stress, juga mungkin depresi, karena enggak bisa keluar dari sana meskipun saya sudah jadi suami kamu. Mungkin juga ayah udah enggak sanggup menjalani tahun-tahun hukumannya ke depan. Dan memilih mengakhiri semuanya." Daniel mendekat, menggeser tas besar Zeya menjauh agar ia bisa mengusap kedua pipi Zeya yang basah karena air matanya.

"Saya juga sedih Zeya, dan saya minta maaf karena saya enggak bisa ngelakuin apapun untuk keluarin ayah dari sana." Zeya mengangguk, menunduk dan sedikit menjauh dari Daniel untuk melanjutkan pekerjaanya.

"Zeya__

"Aku enggak nyalahin kamu, aku cuma penasaran aja." Zeya tidak pernah berfikir Daniel andil dalam tindakan ayahnya. Zeya percaya tindakan Daniel membayar orang di penjara untuk ayahnya adalah sebuah niat baik.

"Kita beneran pindah?" Zeya tau itu pertanyaan bodoh, jelas-jelas mereka sedang melakukan persiapannya sekarang. Rumah juga sudah siap di tempati.

"Kamu enggak betah disini, dan saya juga mulai gerah." Jawab Daniel, ia hanya menatap Zeya yang kembali melanjutkan lipatannya.

"Ibu tau rumah itu?" Karena meski mereka pindah, Daniel tidak boleh putus hubungan dengan keluarganya terutama ibunya. Meski di bayangan Zeya agak menyeramkan, suatu saat mungkin bu Meisya ingin datang kesana dan berkunjung sekedar menjenguk Daniel. Tidak apa masih tidak menerimanya, setidaknya ia masih mengingat Daniel.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang