Berada di rumah kaca dengan banyak tanaman indah adalah sesuatu yang dapat membuat Zeya merasa tenang. Duduk disana ketika matahari masih malu-malu menampakkan diri rasanya menyenangkan.
Zeya lakukan lagi pagi ini, ia bangun lebih awal juga mandi lebih awal lalu menyiram tanaman dan duduk di kursi kecil yang terletak di rumah kaca. Merenung, melamun, memandang langit yang bersih.
"Kamu sepertinya suka disini ya Zeya?" Zeya terkejut, ia langsung berdiri ketika bu Meisya datang mendekat.
"Maaf bu" rumah kaca ini memang bukan miliknya, apa-apa yang ada dirumah ini memang bukan miliknya. Zeya merasa tidak enak karena ketahuan menikmati apa yang bukan haknya.
Meisya meneliti penampilan Zeya, dia memakai celana panjang berwarna coklat tua dengan atasan berwarna hitam. Rambutnya tergerai begitu saja. Dari penampilannya ini ia yakin, tidak akan ada yang sadar dari mana sebenarnya dia berasal.
Meisya tau, baju-baju yang Zeya pakai akhir-akhir ini adalah pemberian Dilara. Berkelas dan sangat cocok memang untuk Zeya sebagai menantu keluarga ini.
Menantu ya?
Tapi Meisya masih tidak mengatakan pada siapapun, pada teman-temannya yang berjumlah banyak atau pada keluarganya yang lain bahwa menantunya adalah Zeya. Bukan Priska atau perempuan mana pun yang sebenarnya lebih pantas
Meisya tidak sengaja melihat Zeya disini ketika bangun untuk mengambil air minum, ia kembali ke kamar mengambil sesuatu lalu kembali lagi ke Zeya. Ia ulurkan selembar foto itu pada Zeya
Yang dengan ragu Zeya terima juga pandangi. Itu adalah foto dua orang, satu wanita paruh baya yang memeluk pria muda. Senyum lebar dan tulus disana amat menggambarkan kebahagiaan.
Tapi Zeya tidak mengerti maksudnya.
"Dia Irwan, dan ibunya." Ucap Meisya melihat kebingungan Zeya yang terlalu jelas.
"Sejak Irwan tewas di tangan ayah kamu, ibunya sekarang tinggal sendirian. Karena Irwan adalah anak tunggal sekaligus satu-satunya keluarga dia yang tersisa" Zeya hampir meremas selembar foto itu. Tangannya gemetar, ini bahkan belum pukul tujuh pagi, Zeya belum melakukan aktivitas apapun, tapi seketika ia berkeringat mendengar ucapan bu Meisya.
"Sekarang dia berjuang sendirian, juga berusaha menyembuhkan diri dari akibat perbuatan ayah kamu." Zeya tidak mampu menanggapi apapun, tenggorokannya sakit menahan tangis.
"Jadi coba kamu pikirkan Zeya, apa layak ayah kamu di bebaskan? Adil kah itu menurut kamu?" Zeya menggeleng pelan. Tapi dia tidak pernah meminta begitu. Tidak pada siapapun.
Meisya mengambil kembali foto itu, pergi begitu saja meninggalkan Zeya yang tiba-tiba merasa sesak. Dia tau ayahnya pembunuh, tapi Zeya memang tidak pernah tau siapa dan bagaimana dampaknya. Kehilangan satu-satunya keluarga pastinya memang berat, tapi Zeya tidak menyangka bu Meisya perlu melakukan ini. Seolah dia adalah pihak yang pernah meminta untuk ayah di bebaskan, dengan memanfaatkan statusnya sekarang, begitu? Zeya bahkan malu atas apa yang terjadi pada ayahnya dan keluarga ini, namun di keterpurukan paling dalamnya pun, Zeya tidak pernah berfikir apalagi meminta ayahnya di bebaskan meskipun dia juga tidak rela ayahnya di sana.
Zeya mengusap wajahnya, menghilangkan jejak-jejak air mata di kedua pipinya juga mengatur nafas.
Ia tersentak kecil ketika tiba-tiba saja Daniel datang dan memeluknya dari belakang. Zeya tidak menghindar kali ini, pria itu akan berhenti sendiri dan tidak lama. Dia hanya memeluk, juga menenggelamkan wajahnya pada bahu Zeya.
"Saya harus ke kampus" Zeya mendengarnya walau agak teredam. Dan ia tau, tiap hari memang Daniel selalu ke kampus kan? Tidak tau kemana lagi, Zeya hanya tau satu itu. Meskipun kata Asih, pekerjaannya tidak hanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.