BEFORE YOUR MEMORY FADES

12.2K 1.9K 207
                                    

Pagi-pagi selepas sarapan, Daniel meminta Zeya untuk bersiap. Daniel tidak bilang mereka mau kemana, dan mengingat Daniel memang bukan orang yang senang di tanyai berulang-ulang, Zeya juga menghindari bertanya terus-terusan padanya.

Rasa penasaran itu terjawab ketika Daniel menghentikan mobilnya di pelataran parkir rumah sakit yang cukup besar. Zeya mengernyit menoleh menatap Daniel.

"Kamu sakit?" Daniel menggeleng, melepas seatbeltnya lalu memutari mobilnya untuk membuka pintu untuk Zeya, bahkan melepaskan seatbeltnya juga.

"Kita cek ya, apapun hasilnya harus tetap di terima." Zeya..agak bingung

"Cek apa? Aku lagi enggak sakit." Meski pagi tadi Zeya agak merasa perutnya seperti kram, juga lagi-lagi menyadari ia belum mendapatkan tamu bulanannya.

"Saya semalam telpon mbak Dilara, saya cerita kalau dada kamu sakit, terus dia bilang coba periksa ke dokter." Zeya jadi takut sekarang, memang sampai seserius itu?

"Zey..gak papa. Kita cuma cek." Daniel mengusap tangan Zeya yang masih duduk di dalam mobil.

"Kalau ternyata enggak?" Zeya belum tau jenis pemeriksaan apa yang akan ia lakukan disana, tapi kalau hasilnya mengecewakan, apa Daniel tidak ikut kecewa?

"Kalau enggak berarti belum saatnya dan kita masih harus berusaha, ayo turun sayang." Zeya merasa degup jantungnya terlalu kencang, ia tetap turun dan menggengam erat tangan Daniel.

Segala proses itu membawa Zeya pada akhirnya harus melakukan pemeriksaan kandungan, spekulasi di kepala Zeya banyak sekali sekarang. Sampai akhirnya ia merasa ingin meledak ketika dokter mengatakan dirinya hamil. Usia kandungannya memasuki minggu ke empat. Dan ia tidak menyadari itu. Kalau saja dadanya tidak sakit, Zeya bahkan tidak ingat jadwal datang bulannya, ia tidak menyadari dalam perutnya ada janin yang sedang berkembang. Zeya merasa tangannya gemetar, ingin menangis. Tapi bohong kalau Zeya tidak merasa senang.

Dokter selesai melakukan USG, belum benar-benar terlihat memang. Bahkan hanya tampak seperti titik kecil. Tapi jujur saja, Zeya melihat Daniel menatapnya dengan nyaris menangis. Itu... Daniel kah?

Pria itu menunduk, mengecup seluruh wajah Zeya dengan doa-doa yang ia ucapkan dalam hati.

Zeya mengusap wajahnya ketika sudah duduk kembali di mobil, Zeya ingin menangis. Maka ia lakukan dengan Daniel yang langsung memeluknya.

Dia bilang belum benar-benar memikirkan soal anak, tapi ketika dirinya sekarang dinyatakan akan punya anak, Zeya tidak bisa mengeluarkan banyak kata selain terimakasih pada dokter yang memeriksanya tadi. Semua pertanyaan hanya berasal dari Daniel. Tentang bagaimana kondisinya dan semua-semua pertanyaan yang seolah hilang dari kepala Zeya.

Daniel melepaskan pelukannya, mengambil tangan Zeya dan mengecupnya berulang kali.

"Jaga kesehatan ya? Sekarang kamu gak sendiri. Disini ada anak kita." Daniel mengusap perut Zeya yang masih sesenggukan.

"Seneng banget apa gimana sih sayang? Kenceng banget kamu nangisnya." Zeya memukul pelan bahu Daniel

"Aku kira..gak akan secepat ini." Kalimat itu diucapkan Zeya dengan terpatah-patah karena sedang menangis.

"Berarti saya hebat gak sih bikinnya?" Zeya tertawa, meski air matanya masih mengalir membasahi pipinya.

"Kasihan anak aku, bapaknya galak." Daniel ikut tertawa, tapi galak-galak begini dia sangat menyayangi Zeya loh.

"Iya maaf. Saya masih akan terus belajar Zeya, tapi yang penting kamu tau kalau saya cinta banget sama kamu. Tau kan?" Zeya mengangguk. Dengan berani memajukan wajahnya mengecup bibir Daniel dengan sangat sebentar.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang