NOUVEAU CHAPITRE

14.1K 1K 30
                                    

Zeya tidak mendapati keberadaan pak Daniel sejak subuh tadi. Zeya bangun lebih awal agar pak Daniel tidak menahannya seperti subuh-subuh kemarin. Ia menyibukkan diri di dapur juga membantu Anya bersiap ke sekolah.

Makanya ia tidak lihat pak Daniel keluar rumah, meski di meja makan teh yang ia buatkan sudah hampir dingin, sarapan yang di belikan Andin juga sudah ada disana.

"Mbak, ini terakhir aku ujian. Abis itu selesai " Zeya sedang memotong buah apel yang Andin beli di pasar kemarin, ini untuk pak Daniel. Zeya baru ingat bahwa pak Daniel itu juga makan buah tiap hari. Itu kata Mutia, yang pernah beberapa kali ia lihat juga.

"Iya, yang rajin biar nilai kamu gak turun." Andin termasuk murid pintar di sekolah. Peringkat dan nilainya selalu stabil. Maka wajar kalau ia bercita-cita menjadi dokter

"Aku mau kerja aja, biar bisa bantuin mbak." Andin berucap lagi, ia sudah mengenakan seragamnya berniat ke sekolah. Hanya menunggu Anya yang masih makan. Andin memang punya keinginan untuk menjadi dokter, tapi ia akan selalu tau diri bahwa kuliahnya yang akan sangat mahal itu juga akan sangat membebani Zeya. Andin sudah tidak tega melihat Zeya banyak mengorbankan diri

"Aku udah capek banget bahas ini Andin, aku kan juga udah bilang, kamu tugasnya sekolah." Zeya mengatakannya dengan nada tegas

"Tapi mbak nanti capek" untuk biaya pendaftaran saja, Andin meringis hampir menangis melihat nominalnya.

"Enggak capek, kata siapa aku capek?" Andin masih ingin membalas, namun ia spontan diam ketika Daniel bergabung duduk di meja makan.

"Ini teh saya kan?" Zeya menahannya ketika Daniel hendak mengambil cangkir berisi teh itu.

"Ini udah dingin, saya__

"Gak papa ini aja" Daniel duduk di sebelah Zeya, berhadapan dengan Anya juga Andin. Keheningan ini memang terjadi ketika ada Daniel di sekitar mereka

"Kamu bentar lagi lulus kan?" Pertanyaan tiba-tiba Daniel itu hanya di balas anggukan kaku oleh Andin.

"Udah tau mau kuliah dimana?" Andin menoleh menatap Zeya, sebenarnya dia memang pernah menunjuk beberapa kampus. Terletak di kota, yang kampusnya lebih besar juga pastinya lebih bagus. Namun tinggal di kota tentu akan memakan biaya yang besar.

"U-udah pak" jawab Andin, gugup sekali rasanya berbicara dengan kakak iparnya sendiri.

"Dimana?" Dengan masih gugup, Andin menyebut nama kampus yang teman-temannya juga banyak menyebutnya sebagai kampus impian

"Saya ngajar disitu, emang bagus, mending emang di sana aja." Jawaban enteng Daniel hanya Andin balas dengan senyum kaku. Informasi yang juga baru Zeya ketahui. Tentu, memang apa yang ia tau dari seorang Daniel?

"Aku..berangkat dulu ya mbak, ayo Anya." Anya mengangguk, ia sudah selesai makan dan meraih tangan Daniel juga Zeya untuk menyalimi nya.

"Andin mau ambil jurusan apa memangnya?" Pertanyaan itu di utarakan Daniel setelah meja makan hanya menyisakan dia dan Zeya.

"Bapak sepertinya peduli banget sama Andin ya?" Daniel menolehkan kepalanya pada Zeya

"Gak usah berfikir macam-macam, saya cuma mau bantu. Mana mungkin saya suka sama adik kamu." Zeya ikut menoleh, menatap Daniel dengan keningnya yang mengernyit. Pikiran Zeya tidak kesana.

"Maksud saya__

"Saya yang akan urus semua pendaftaran kuliah Andin, juga apa-apa yang bersangkutan dengan itu." Zeya membuang pandangannya, menatap pada jendela dapur yang terbuka. Ia menelan ludah

"Enggak usah pak, Andin biar__

"Titik. Keputusan saya enggak bisa di ganggu gugat." Zeya masih dengan menatap jendela-, tidak menanggapi ucapan Daniel.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang