Daniel menyadari, Zeya kembali ke mode awal. Istrinya itu enggan lagi menatap kearahnya, bicaranya juga terbatas. Padahal dua hari yang lalu Daniel lihat betapa Zeya banyak bicara di depan Andin. Ia melakukan panggilan video dengan Anya dan bude Aminah selama satu jam lebih, tapi berbicara dengannya untuk lima menit saja Zeya tidak.
Jujur saja ia merasa tidak nyaman, kepikiran, juga gelisah. Zeya benar menepati ucapannya. Dia benar-benar berusaha menjadi istri yang baik. Menyiapkan Daniel sarapan, juga sebenarnya tidak menolak ketika ia sentuh. Tapi rasanya beda, Zeya seperti marah. Namun tidak mengucapkannya secara verbal.
Pagi tadi Zeya meminta izin untuk menemani Andin di apartment. Andin sedang ospek hari kedua, dia sendiri sudah lihat tadi pagi. Tapi Zeya menolak pulang dan memilih sendirian di apartment Andin.
"Yang mana adiknya Zeya?" Balthazar hari ini lenggang. Dia sebenarnya ingin dirumah saja, tapi Irish hari ini bekerja dan sibuk. Daniel diajak main golf juga banyak alasan, maka Balthazar memutuskan mendatangi pria itu di kampus.
Mereka sedang berada di kantin, lantai dua itu di lapisi dinding kaca yang di khususkan untuk para dosen yang hendak makan siang. Balthazar memerhatikan banyaknya orang di kantin bawah. Terutama yang memakai baju hitam putih.
"Yang itu, yang rambutnya di ikat pakai ikat rambut warna biru." Zeya yang memberikan Andin ikat rambut itu tadi pagi.
"Cakep" komentar Balthazar itu di balas delikan tajam oleh Daniel.
"Biasa aja dong mata lo, cakep bukan berarti gue suka." Balthazar membalas. Keberadaan Irish di hidupnya sudah lebih dari cukup.
"Btw, kemarin Tasya ada apa nemuin lo? Sama suaminya pula." Kemarin Balthazar tidak membahas itu sama sekali. Sempat membuat Daniel berfikir bahwa Balthazar mengerti untuk tidak ikut campur.
"Cuma ngobrol" jawaban yang sangat Balthazar ragukan.
"Cuma ngobrol? Ngobrol dengan Tasya gak baik lagi sejak kalian berdua udah sama-sama nikah." Daniel mengerti kemana arahnya, apalagi memang dia sendiri yang jujur di depan Balthazar bahwa ia pernah menyukai Tasya bahkan mungkin masih. Tapi dia sudah lama berhenti berusaha juga mengharap pada Tasya.
"Cuma minta pendapat aja" Daniel tidak mau cerita kali ini, ia khawatir Balthazar tidak mengerti maksudnya.
"Suami istri minta pendapat ke elo? Lo buka jasa konsultasi pernikahan emang?" Kadang-kadang Daniel memang sesali pertemuannya dengan Balthazar. Pria itu terlalu cerewet untuk ukuran laki-laki baginya.
"Diem deh lo!" Daniel kembali menatap pada Andin, dia bersyukur adik iparnya itu setidaknya sudah punya teman. Dia tidak sediam Zeya, tidak kalau bukan di depannya.
"Lo masih suka Tasya ya?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Daniel kembali menatap Balthazar.
"Kata siapa?"
"Kata tingkah laku lo bangsat!" Daniel mendengus. Namun tidak menapik balasan Balthazar tadi.
"Lo harus bisa pilih satu, lo mau lupain Tasya dan seluruh kepedulian lo ke dia. Atau lepasin Zeya dan terus berharap sama Tasya" Daniel kali ini menatap tajam pada Balthazar.
"Lo tau apa sih?" Katanya dengan sinis
"Tau, gue tau. Yang gak tau soal lo cuma Zeya." Balasan tanpa takut itu membuat Daniel bungkam.
"Lo cerdas Daniel, lo tegas. Jadi mending lo pilih. Jangan sampe di kemudian hari lo nyesel tapi semua udah terlambat." Dewasa memang bukan soal usia, itu yang Daniel dapati pada Balthazar. Dia lebih tua disini, tapi Balthazar malah yang menasehatinya.
"Lo ngomong kayak gini seolah gue__
"Lo boleh tetap temenan sama Tasya, tapi harusnya lo jujur sama Zeya. Lo boleh tetap temenan sama Tasya, tapi harusnya lo tau batas." Ucap Balthazar lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.