NOUVEAU CHAPITRE

10.1K 905 22
                                    

Dulu ketika orang tuanya masih tinggal bersamanya, saat Zeya masih duduk di bangku sekolah, Zeya memang tau bahwa orang tuanya kerap kali meminjam uang untuk membayar rumah, kebutuhan sehari-hari juga membayar biaya sekolah. Ayahnya pernah menyarankan untuk Anya tidak usah sekolah, tapi keinginannya itu ditentang keras oleh ibunya. Kendati mereka meminjam sana-sini, bekerja hanya untuk membayar utang, agar anak-anak bisa tetap makan dan sekolah, juga agar tetap punya tempat tinggal.

Tidak satu dua kali ketika Zeya pulang sekolah, ia mendapati dua sampai tiga orang pria berteriak pada ibunya hingga tetangga mendengar. Mereka adalah orang-orang galak yang di utus untuk menagih hutang. Keadaan itu di perparah dengan di penjaranya ayah dan ekonomi semakin goyang. Itu adalah akibat mengapa hutang keluarga Zeya ada banyak pada bude Murni. Padahal Zeya sudah meminta keringanan untuknya bersabar, Andin juga sudah datang meminta tenggat waktu.

Tapi apa yang di dengarnya pagi tadi lumayan membuatnya terguncang. Terakhir kali, Zeya ingat utang itu berjumlah tiga puluh juta. Yang katanya sudah di lunasi pak Daniel secara diam-diam dan tentu tanpa persetujuan darinya. Zeya rasanya semakin...malu. dia merasa sudah tidak punya harga diri lagi rasanya, mau berapa banyak uang yang dia keluarkan hanya untuknya. Apalagi di posisinya, ia adalah istri yang tidak diinginkan mertua. Apakah bu Meisya tidak akan marah padanya ketika tau Daniel sudah mengeluarkan banyak uang untuknya? Tidakkah dia berfikir Zeya hanya memanfaatkan harta anaknya?

"Zeya?" Perjalanan itu hening, Zeya tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan Daniel juga menahan. Namun, Zeya mendapati Daniel mengusap pelan pipinya yang tertidur. Daniel membangunkan Zeya berniat mampir untuk makan terlebih dahulu

"Saya gak lapar pak" Daniel menghela nafas, mereka memang makan sebelum pergi, tapi ini sudah nyaris empat jam, mereka sudah setengah jalan, bisa-bisanya Zeya bilang dia tidak lapar.

"Nanti kamu sakit tunda makan terus" balas Daniel dengan kesabarannya

"Bapak aja, saya gak mau turun." Zeya mana mungkin masih mau merepotkan, uang yang Daniel keluarkan sudah terlalu banyak. Zeya sudah sangat merasa cukup juga pusing bagaimana menggantinya.

"Yaudah, saya gak makan kalau kamu gak makan." Lalu dia mungkin akan sakit, dan bu Meisya akan menyalahkannya. Isteri tidak becus. Sudah banyak menghabiskan uang, suaminya malah dibiarkan sakit.

Bu Meisya bu Meisya bu Meisya. Hanya seputar itu saja pikirannya dan Zeya sebenarnya ingin berteriak agar stress ini pergi dari kepalanya.

"Nanti bapak sakit, bapak aja yang makan. Saya gak lapar." Tidak setelah Daniel membeli rumah itu seharga delapan puluh juta dan melunasi tiga puluh juta utangnya.

"Zeya?" Daniel melepaskan seatbeltnya. Mendekat pada Zeya yang menutupi wajahnya dan menangis. Ia menangis seperti anak kecil, terdengar pilu dan membuat Daniel ikut sakit. Tidak tau kenapa, tapi tangisan Zeya kali ini membuatnya seketika merasa bersalah.

"Zeya, kenapa sayang?" Zeya menggeleng, tidak membiarkan Daniel menyentuh tangan ataupun wajahnya. Ia hanya ingin menangis sekarang, melampiaskan semua kegelisahan juga hatinya yang tidak mau tenang.

"Maaf, saya banyak bikin kamu nangis." Daniel mengusap kepala Zeya yang masih menangis. Dan ia tau alasannya. Tapi sulit memahaminya, kenapa Zeya harus sedih? Dia hanya mau membantu. Salah kah dia disitu?

"Jadi gimana kalau kita___

"Enggak Zeya. Tolong jangan minta hal-hal yang gak mungkin saya wujudkan." Daniel berucap lembut, melihat Zeya menangis membuatnya tidak tega.

"Saya cuma mau bantu kamu, dimana salahnya?" Sambungnya. Daniel hanya tidak tau bahwa Zeya sebenarnya malu karena orang tuanya punya banyak utang. Tapi itu semua terjadi demi agar mereka tetap hidup.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang