Daniel sebenarnya berat membawa Zeya ke kampus. Hari itu, melihat dia berkenalan amat singkat dengan orang lain agak membuatnya terusik. Tapi Daniel merasa Zeya memang perlu keluar. Bersosialisasi juga mencoba mencari teman. Tentu dibawah pantauannya juga
Hari ini ia tidak terlalu sibuk, dia hanya akan mengajar dan selesai. Zeya seharusnya akan sabar menunggu, tapi apa yang bisa Zeya lakukan sembari menunggu kalau ponsel saja dia tidak bawa? Zeya itu keras kepala. Sangat keras kepala. Ponsel yang ia belikan bahkan belum ia buka.
"Saya nanti gak lama, nanti kamu tunggu di ruangan saya dulu gak papa ya?" Zeya mengingat, bukannya waktu itu Daniel juga bilang dia hanya sebentar? Tapi ternyata dia lumayan lama. Tapi dia Daniel, apa berani Zeya protes? Tentu tidak.
Pada akhirnya ia hanya mengangguk, sebenarnya di mobil tadi Zeya sudah bilang tidak mau ikut. Tapi Daniel bilang, mencoba kenal dan berteman dengan Irish adalah ide bagus.
Sebenarnya juga, Zeya hanya mau mengatakan sesuatu soal bekerja. Andin mengabarkan kalau minggu depan mungkin ia akan kesini sesuai apa yang di suruhkan Daniel. Pria itu sudah mengurusi banyak hal soal Andin dan tidak mengatakan apapun padanya.
Dengan Daniel yang menggenggam tangannya, mereka memasuki lift yang ramai. Beberapa orang disana, pria dan wanita menyapa Daniel sesopan mungkin. Zeya sebenarnya heran, Daniel banyak di sapa oleh orang, tapi dia ketika di sapa hanya mengangguk sekilas. Bahkan senyum juga tidak. Terlihat sombong bagi Zeya. Kalau Daniel begitu di desa, dia pasti akan di jadikan omongan orang.
"Eh maaf-maaf" Daniel menatap tajam pria yang baru saja secara tidak sengaja menyenggol bahu Zeya.
"Maaf ya kak" Zeya hanya mengangguk, tidak mengelak dan tidak mengatakan apapun ketika Daniel menarik pinggangnya semakin dekat dengannya.
"Kamu tunggu disini dulu, saya janji gak lama." Daniel kemudian meninggalkan ruangannya, dengan mengunci pintunya dari luar. Zeya sebenarnya ingin berkeliling, melihat bagaimana luas dan megahnya kampus orang-orang kota. Tapi sepertinya itu hanya angan-angan karena Daniel mengunci pintunya dari luar.
Zeya menyandarkan punggungnya pada kursi, satu buku diatas meja Daniel ia baca secara acak sembari menunggu. Hingga beberapa menit terlewat, dering ponsel Daniel agak mengagetkannya. Zeya tidak tau, dia lupa ponselnya atau sengaja di tinggal. Ponsel itu berbunyi hingga tiga kali, Zeya berdiri dari kursinya dan mengambil benda itu. Di layarnya tertera 'Anastasya Mikha'
Zeya letakkan kembali meski rasa penasaran itu muncul. Dia hanya boleh sebatas itu, karena akan lancang jika sampai ia menyentuh ponsel itu lebih dari yang seharusnya.
Namun, dering itu tidak berhenti. Terus berulang hingga nyaris satu jam, sepenting itukah sampai dia tidak menyerah menelpon suami orang? Zeya mengusap wajahnya, ia singkirkan pikiran itu dari kepalanya. Ia tidak boleh seperti itu. Anastasya Mikha adalah perempuan yang Daniel sukai mungkin juga ia cintai. Zeya tidak boleh merasa cemburu.
Cemburu?
Tidak, Zeya tidak begitu. Bukankah dia yang pernah meminta dan masih akan mengusahakan perpisahannya dengan Daniel? Lalu apa ini Zeya? Kenapa terusik karena Daniel di telepon berulang kali oleh wanita itu. Wanita yang sampai hari ini masih memegang tahta di hati suaminya. Zeya tidak pernah membahas ini, juga tidak pernah menanyakan kebenarannya. Tapi Daniel sendiri sudah bilang kalau dia tidak mencintainya. Tidak ada cinta disini. Dan seharusnya ia pun harus tetap begitu. Dia tidak boleh lebih dari itu
Zeya menutup kasar bukunya, konsentrasi nya sudah hilang dan tidak mau kembali. Dering ponsel Daniel begitu menganggu, ia berdiri dan memutari meja. Mengambil ponsel itu dan menatap layarnya, bersamaan dengan itu, pintu terbuka dan Daniel disana. Menatap pada Zeya yang sedang memegang ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.