Zeya sudah pulang, ia di sambut Asih, Maryam, Juga Mutia yang bergantian memeluknya juga mengucapkan maaf karena tidak bisa menjenguk. Tadinya Zeya berfikir mereka mungkin sibuk, tapi Asih memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Zeya.
"Gak papa Asih, gak usah di bahas." Hanya itu yang mampu Zeya balaskan setelah Asih memberitahu bahwa bu Meisya memang tidak memberi mereka izin untuk menjenguknya dirumah sakit.
"Aku enggak tau ibu kenapa, dia dulu enggak begini. Kalau kita mau izin, asal dia tau kemana dan mau apa, pasti di kasih." Asih dan Zeya sedang dirumah kaca, tidak ada bu Meisya karena sedang keluar. Daniel juga sama, tadi pamit pada Zeya sudah harus ke kampus. Pasti banyak pekerjaan yang dia tinggalkan.
"Aku juga sebenarnya mau ketemu Andin, tapi gimana ya?" Pertanyaan itu belum Zeya jawab ketika Daniel sudah pulang. Dia pergi setelah mengantar Zeya ke rumah juga melarang Zeya mengerjakan apapun. Di pukul empat sore dia sudah kembali dan menemukan Zeya sedang menyiram tanaman, Daniel ingin marah melihatnya. Tapi sejak entah kapan, Daniel sudah berjanji untuk lebih mengontrol emosinya.
"Kamu baru sembuh Zey, ini apa sekarang?" Daniel menatap Zeya dan Asih secara bergantian.
"Kita gak ngapa-ngapain, cuma nyiram__
"Andin ada di ruang tamu" Zeya tentunya kaget, ia tidak menyangka Daniel membawa Andin ke rumah ini. Bagaimana kalau bu Meisya tau.
Zeya cepat-cepat melangkah menuju ruang tamu di ikuti Asih.
"Mbak Asih?!" Andin dan Asih saling berpelukan, saling bertanya kabar, bagaimana dan kenapa bisa Andin kesini. Tidak detail yang Andin ceritakan karena Daniel lebih dulu meminta Asih memberikan mereka ruang untuk bicara.
"Kok bisa kesini?" Zeya menatap Andin yang rapih dengan pakaian kuliahnya.
"Sama pak Daniel" Zeya refleks menolehkan kepalanya pada Daniel yang duduk di sofa dekat dengan Zeya.
"Di suruh mbak Dilara" ucap Daniel berniat menjelaskan. Ia memang benar di telepon Dilara untuk membawa Andin kerumah.
"Cuma makan malam, duduk kalian berdua." Atas ucapan Daniel itu, Zeya dan Andin kemudian duduk berhadapan.
"Mbak udah enggak pusing?" Zeya mengangguk sambil tersenyum, matanya tak lepas menatap Andin. Ada rasa bangga juga haru, karena Andin sekarang sudah kuliah. Seperti apa yang selama ini ia impikan. Andin bisa, dan Zeya benci dirinya ketika ia menjadikan itu perbandingan.
Kenapa orang tuanya tidak perjuangkannya seperti dia memperjuangkan Andin? Mereka malah menyerah, melipahkan segala tanggung jawab yang berat pada Zeya yang tidak siap.
"Tadi di kampus ngapain aja?" Zeya merasa agak sedih, matanya hampir berkaca-kaca. Dan Daniel menyadari itu, ia menatap wajah samping Zeya yang tersenyum lebar ketika Andin memperlihatkan foto-foto beberapa tempat di kampusnya.
"Aku paling suka perpustakaannya, liat deh mbak, bagus ya?" Zeya mengangguk, mengamati baik-baik foto-foto yang Andin ambil di beberapa bagian kampus. Memang benar, perpustakaannya sebagus dan seindah itu untuk diamati, walau Zeya tidak benar-benar tau isinya.
"Udah dateng ternyata" Dilara datang dari lantai atas, ada Raisa bersamanya.
Andin seperti biasa, menyalami tangan Dilara meski Dilara menolak. Tapi mau bagaimana, Zeya memintanya begitu
"Aku ada rencana mau barbeque-an, makanya aku suruh Daniel bawa kamu kesini." Ucapnya terdengar bersemangat, Zeya jadi ingat kalau tadi Mutia memang bilang kalau Dilara ingin masak-masak di taman belakang.
Daniel berpindah duduk ke samping Zeya, membiarkan Dilara dan Raisa duduk di tempatnya tadi.
"Dia siapa ma?" Raisa dan kebiasaannya yang tidak malu bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.