Daniel tadi pergi pagi-pagi sekali, ia tidak sarapan dan hanya mengecup kening Zeya singkat lalu segera pergi. Dia nampak buru-buru dan Zeya tidak berani menanyakan akibatnya.
Ia sedang membantu Mutia membereskan meja makan meski Mutia melarangnya, sedang tidak banyak orang dirumah, Asih dan Maryam sedang berbelanja, Dilara pergi bersama Raisa dan Abian, Arya tentu sudah ke kantor. Anggota keluarga hanya tersisa bu Meisya.
"Aku aja Zey" Mutia mengambil piring-piring kotor yang sudah selesai Zeya susun dan membawanya ke dapur. Bertepatan dengan itu, bu Meisya datang dan mengambil duduk di tempatnya seperti biasa setiap makan.
"Bisa tolong buat kan saya teh Zeya?" Zeya agak terkejut ketika bu Meisya menyebut namanya. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya lagi sejak insiden ia menjatuhkan pot bunganya.
"Bisa bu, sebentar." Zeya berlalu ke dapur, membuat secangkir teh dan membawakan lagi ke bu Meisya yang masih duduk di kursinya.
"Saya baru tau kalau ternyata rumah kamu di desa sudah dibeli Daniel." Zeya menunduk, tangannya terlipat di belakang tubuhnya.
"Kalau saya enggak sengaja liat hp Daniel yang isinya informasi soal perkembangan renovasi rumah itu, Daniel pasti gak akan ngomong. Dan kamu juga memilih diam aja Zeya?" Ya. Zeya memahami bahwa seharusnya ia tidak ikut diam saja seperti yang dilakukan Daniel. Tapi mana mungkin dia jujur kalau dari awal bu Meisya memang enggan menerimanya? Zeya tentunya tidak berani, bagaimana dia mengatakan itu?
"Daniel dulu enggak begitu loh, dia selalu izin ke saya kalau mau apa-apa." Ini kembali seperti sebelumnya. Daniel yang katanya berubah karenanya
"Saya juga tau kalau Daniel sampai membayar orang di penjara buat memantau ayah kamu. Di jadikan tahanan istimewa begitu?" Zeya tidak tau itu, sungguh. Sama sekali tidak, ia mengangkat pandangannya menatap bu Meisya yang menikmati teh hangatnya.
"Saya enggak tau kalau__
"Iya, Daniel emang jadi banyak rahasia sejak nikah sama kamu." Meskipun Daniel sudah bukan anak-anak, Meisya memang mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang selalu terbuka dengan orang tuanya, dan apa yang ia dapati beberapa hari belakangan ini membuatnya merasa gagal.
"Sudah ya Zeya? Jangan bikin Daniel melangkah terlalu jauh. Saya masih diam sampai Daniel mau membiayai kuliah adik kamu, meskipun itu memang murni uang Daniel, tapi saya semakin kesal ke kamu karena bikin hubungan saya dan Daniel jadi gak baik." Zeya menunduk lagi, berusaha untuk tidak menangis di depan bu Meisya meski sering kali ia gagal berpura-pura tegar. Nyatanya Zeya butuh menangis agar sedihnya lega
"Saya udah bilang kan? Satu-satunya alasan kamu tetap disini karena saya gak mau Daniel keluar dari rumah ini. Anak saya cuma dua, dan keduanya berhasil terpengaruhi oleh keberadaan kamu" bu Meisya menyambung lalu pergi dari sana. Terpengaruhi katanya? Kapan Zeya memengaruhi Daniel dan Dilara untuk berpihak padanya?
Bu Meisya tidak terima dia, lalu kenapa dulu dia ikut andil membujuknya?
"Zey, kamu gak papa?" Mutia berada di balik tembok sejak tadi. Mendengar semua ucapan bu Meisya yang memang menusuk hati. Jika ia yang berada di posisi Zeya, belum tentu ia bisa sekuat Zeya.
"Enggak papa, aku ke rumah kaca dulu ya?" Meski area itu juga bukan miliknya, tapi Zeya tidak bohong. Ia merasa tenang bila duduk disana.
Daniel membayar orang untuk memantau ayahnya? Tapi kenapa dan buat apa? Agar supaya dia senang kah? Agar ayahnya menerima Daniel kah? Atau apa? Zeya tidak tau. Ia bersandar, menatap atap kaca yang dihiasi tanaman merambat.
Sepertinya sudah benar keputusannya. Zeya betul-betul akan gila jika tetap berada disini. Zeya harus bisa pergi, meski Daniel tidak menyetujuinya. Dia bisa hidup lebih bahagia, dia bisa menjalani hidup tanpa tekanan apapun. Dengan cukup, tidak perlu harta berlimpah, dan ia bisa dengan tenang menunggu ayahnya bebas dari penjara.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.