Daniel pulang bekerja lebih awal hari ini, Zeya baru saja selesai menyetrika dan melipat baju-baju mereka ketika Daniel mendatanginya.
"Masih yakin gak mau pake ART?" Satu bulan ini, Daniel tentu saja membantu. Sebenarnya sangat membantu. Zeya sudah bilang kalau Daniel itu pria yang teratur juga rapih. Zeya tidak pernah mendapati yang namanya handuk basah di letakkan diatas kasur, baju-baju kotor berserakan, atau apapun. Daniel juga meluangkan waktu untuk membantu Zeya membereskan rumah, sekedar cuci piring selepas mereka makan malam, atau membersihkan kamar mandi dan merawat taman kecil mereka, Zeya sudah merasa bersyukur.
Itu adalah salah satu alasan kenapa Zeya menolak usulan adanya ART, selain karena ia tidak punya kesibukan dan kegiatan lain di luar rumah, maka Zeya berfikir mereka memang tidak butuh ART.
"Masih, kok kamu cepet pulangnya?" Suatu kemajuan ketika Zeya sudah tidak lagi canggung bertanya pada Daniel, ekspresi perempuan itu bukan hanya segan juga senyum tipis lagi. Maka Daniel merasa usahanya tidak sia-sia.
"Iya, enggak banyak kerjaan hari ini." Zeya berdiri, tadinya dia duduk di lantai menyusun pakaian.
"Kamu mau makan?" Meski sudah pukul tiga sore, Daniel bilang dia kalau sudah makan sore malamnya sudah tidak lapar. Berarti, kalau Daniel makan sekarang, Zeya tidak perlu masak lagi nanti malam.
"Saya mau main golf, sama Balthazar, sama Aji. Kamu mau ikut? Ada Irish juga." Zeya mengangguk tanpa berfikir. Mendengar nama Irish tersebut, Zeya jadi bersemangat.
"Aku mandi dulu kalau gitu" Zeya meninggalkan ruangan di ikuti Daniel.
"Bareng" refleks Zeya berbalik menatap Daniel dengan terkejut
"Enggak papa kan? Toh suami istri." Zeya menggeleng, tetap memasuki kamar mereka. Zeya akui ia sudah tidak seperti dulu, Zeya menyadari dan memang mengusahakan untuk tidak terlalu cuek pada Daniel, juga berhenti menganggapnya sebagai majikan. Zeya sedang berusaha menyetarakan diri. Tapi kadang-kadang tanpa ia sadari, rasa segan itu masih ada.
"Zeya" Daniel memanggil, terlihat jelas penolakan di wajah istrinya. Tapi bukannya Zeya tau, Daniel tidak peduli dengan penolakannya.
"Atau kamu mandinya duluan aja" sementara Zeya bisa menyiapkan pakaiannya dan pakaian Daniel sembari menunggu. Daniel tidak menjawab, ia membuka baju dan celananya di depan Zeya, menaruhnya di keranjang cucian kotor.
"Mas, sendiri-sendiri aja." Zeya malu. Walaupun sebenarnya ini bukan pertama kali, tapi benar. Zeya masih malu, ia menahan tubuhnya ketika Daniel hendak menariknya.
"Tapi saya mau berdua" tenaga pria itu memang kuat, ia berhasil menarik Zeya masuk ke dalam kamar mandi.
_______
"Zeya!" Irish melambaikan tangannya, rasa malas dan bosannya terobati melihat kedatangan Zeya. Tadinya ia menolak ikut, tapi mendengar Balthazar bilang akan ada Zeya, Irish langsung semangat.
"Sini Zey, temenin aku menghadapi kebosanan ini." Irish mengambil lengan Zeya untuk ia gandeng. Meski pakaiannya kali ini sangat cocok untuk di pakai bermain golf, sayangnya Irish tidak bisa, olahraga apa yang ia bisai? Agaknya tidak ada yang ia kuasai.
"Tadi saya ajak main kamu gak mau" Balthazar dengan topi hitamnya menimpali setelah menyapa Zeya secara singkat.
"Aku enggak tau mainnya gimana" Irish lalu menoleh pada Zeya
"Aku juga enggak bisa, di desa gak ada yang kayak gini." Sebelum Irish bertanya, Zeya sudah menjawab duluan. Golf ini permainan untuk orang kaya, apalah daya Zeya yang mainnya paling jauh cuma ke sawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.