BEFORE YOUR MEMORY FADES

16.2K 1.2K 22
                                    

"Bukan karena saya gak punya orang tua, maka bapak berhak seenaknya melakukan ini sama saya." Ucap Zeya menghempas kasar tangan Daniel yang begitu kuat menggenggamnya

Mereka berada di lorong menuju pintu keluar, hanya ada tembok sebagai pemisah antara dirinya dan keluarga pak Daniel.

"Saya enggak berfikir kesana, ada atau enggak adanya orang tua, semua orang tetap punya harga diri." Zeya mengerti mengapa pak Daniel menjadi dosen, jawabannya terdengar bijak sekali barusan.

"Terus kenapa bapak seenaknya?" Zeya berucap berusaha dengan tenang, meski sekarang jantungnya seolah nyaris lepas dari rongganya. Zeya bahkan ingin menangis, tidak perlu dilisankan, ia tau bahwa bu Meisya tidak ingin ini terjadi. Meski ia mengaku bu Meisya adalah orang yang baik, sebagai ibu yang membesarkan anaknya dengan segala fasilitas dan berpendidikan tinggi, dia pastinya keberatan pak Daniel malah memilihnya. Yang bukan siapa-siapa juga tidak punya apa-apa.

"Kalau gitu saya tanya ke kamu, kamu mau menikah dengan saya?" Zeya menggeleng cepat, dan Daniel sudah duga jawabannya memang itu.

"Kenapa gak mau? Karena kita punya jarak usia delapan tahun? Karena kamu hanya gadis desa yang enggak punya apa-apa? Atau karena taraf pendidikan kamu?" Daniel tau itu dari Asih, ia mengajaknya mengobrol beberapa hari sebelum menikah. Sebenarnya dia sudah ada firasat kalau Priska bisa nekat, ia tidak menyimpan firasat itu sendiri. Ia bagi itu pada kedua orangtuanya, namun mereka memang tidak percaya dan menuduhnya hanya berburuk sangka.

Daniel pada waktu itu hanya iseng bertanya beberapa hal mengenai Zeya, namun Asih memang adalah orang yang lumayan cerewet pada dasarnya. Dia menceritakan lebih dari yang Daniel harapkan. Ia ceritakan keluarga Zeya, mulai dari ayahnya yang harus masuk penjara, ibunya yang bunuh diri, serta utang juga kedua adiknya yang harus ia tanggung. Asih sendiri mengaku kalau cerita itu dia dapat dari Aminah. Kakaknya yang tinggal di desa dan kebetulan mengenal baik Zeya dan keluarganya.

Daniel tidak bermaksud apa-apa, tapi mari sebut ini simbiosis mutualisme. Zeya membantunya dan Daniel akan balas itu setara.

"Saya gak mau, saya gak bisa." Jawab Zeya masih teguh pada pendiriannya

"Zeya__

Daniel benar-benar bingung mau mengatakan apa, dia berbalik memunggungi Zeya demi meremas rambutnya sendiri. Andai saja dia bisa sedikit menjadi pengecut, ia ingin mendatangi Priska dan menghajarnya sampai habis. Daniel juga sudah mengundang banyak sekali dosen juga mahasiswa pada hari ini, bukan hanya orang tuanya yang akan menanggung malu. Dia sendiri juga terancam begitu, namun di bandingkan itu, mamanya adalah yang paling tersiksa. Ia sudah lama menunggu momen dimana dia menikah, tapi pilihannya sendiri malah gagal. Sebagian besar tamu adalah undangannya, keluarga besar akan sangat malu dan mereka bisa rugi ratusan juta.

"Saya enggak akan memperlakukan kamu sebagai pengganti, saya berani berjanji untuk itu." Zeya tidak mampu menjawab, kepalanya seakan buntu. Tidak terlintas satu kalimat pun yang bisa ia pakai untuk mengelak.

"Atau.. Zeya, saya bersedia melunasi semua utang-utang kamu juga membiayai kedua adik kamu sampai mereka lulus." Zeya menatap Daniel dengan kedua matanya yang berair. Dari mana dia tau soal itu? Mengetahui ada orang lain yang tau akan masalah keluarganya membuat Zeya merasa di telanjangi.

"Bapak tau dari mana?" Seingatnya, ketika bu Meisya menanyakan latar belakang keluarganya, Zeya hanya menjawab bahwa ibunya meninggal dan ayahnya sedang di penjara. Hanya sampai sana, kenapa pak Daniel bahkan tau detailnya?

"Untuk sekarang itu enggak penting, apa yang salah dari saya? Kenapa harus gak mau menikah dengan saya?" Sebut saja Daniel gila, karena ia mulai frustasi dengan semua ini. Keluarga terutama mamanya sudah sangat mendesak, lalu gadis yang ia sukai malah memilih orang lain. Daniel juga ingin bahagia, ia tidak mau terjebak pada wanita yang sama. Tidak lagi kali ini, cukup sudah tiga tahun ia habiskan dengan mengharapkan orang yang sama. Dia akan cari kebahagiaannya sendiri, bukan kah cinta juga bisa datang karena terbiasa? Dan tidak salah pertanyaannya kan? Apa yang kurang darinya? Bagaimana mungkin Zeya menolaknya tanpa pikir panjang?

"Saya memang enggak mencintai kamu Zeya, sekarang memang tidak. Tapi saya sangat mengerti kalau pernikahan bukan sebuah permainan. Kalau sudah dengan kamu, maka segalanya akan cukup." Tawaran pak Daniel sebenarnya terdengar menggiurkan dan pastinya bisa ia wujudkan. Zeya memang masih mengaku sanggup untuk bangkit dari penderitaan ini, namun tawaran Daniel terdengar sangat menjanjikan.

"Zeya?" Zeya menoleh, bu Meisya datang mendekat dengan raut wajahnya yang memancarkan keputusasaan.

"Ibu minta tolong, cuma kamu satu-satunya yang bisa tolongin ibu. Kamu mau kan?" Ucapnya, Zeya tidak menyangka itu. Dia justru berharap bu Meisya segera mengusirnya saja dari sini.

"Zeya, di luar udah banyak banget orang, kami mohon sama kamu." Dilara ikut mendekat, Zeya menelan ludahnya susah payah. Situasi macam apa ini? Harusnya dari awal ia tidak setuju merantau kemari.

Zeya melihat pada bu Meisya, yang kemarin melebihkan gajinya dari yang lain dengan pesan itu untuk adik-adiknya di desa. Zeya begitu tersentuh, padahal bu Meisya baru mengenalnya sebulan lebih.

Kemudian Daniel, ia pernah menyelamatkan nyawanya atas insiden tenggelam waktu itu. Asih bilang, dia mengalami henti nafas tapi Daniel berusaha menyelamatkannya dan buru-buru membawanya ke rumah sakit.

Pak Arya, yang sejak awal kedatangannya sudah menyambutnya dengan tangan terbuka sama seperti apa yang Dilara lakukan.

Keheningan itu berlangsung lama, hingga helaan nafas Daniel terdengar. Wajahnya sudah sangat menggambarkan putus asa juga risau yang dapat Zeya pahami.

"Ok...gak ada paksaan Zeya, kalau kamu memang enggak mau." Daniel mengalihkan pandangannya pada mamanya.

"Maaf ma, tapi saya siap malu di hadapan lima ratus orang diluar sana, maaf karena saya harus menghancurkan nama baik juga citra kalian, maaf atas ulah saya kalian harus menanggung malu." Ucapan Daniel itu kembali membuat bu Meisya menangis.

"Zeya..tolongin kami, kamu beneran gak bersedia?" Dilara menatap Zeya dengan wajah memelas.

"Bagaimana caranya saya nikah tanpa keluarga saya tau mbak?" Meskipun tidak punya ibu, juga ayahnya yang masih di penjara dan menolak untuk di besuk. Bukan berarti Zeya bisa seenaknya. Dia punya adik juga bude Aminah yang sudah ia anggap keluarga

"Andai saya punya waktu Zeya, saya sendiri yang akan turun tangan menjemput keluarga kamu. Tapi sekarang kondisinya gak memungkinkan" Arya sang kepala keluarga ikut menimpali

"Daniel sendiri yang akan menemui mereka untuk menjelaskan segalanya, untuk sekarang, kalian menikah dan saya janji keluarga kamu akan tau dan enggak akan salah paham." Ucapnya lagi, Zeya merasa kepalanya mulai pusing.

"Saya..saya cuma mau nolongin kalian." Dan itu adalah intinya, Daniel meraih tangan Zeya juga memberi kode pada ayahnya untuk bergegas.

Daniel melakukannya dengan cepat, kalimat sakralnya diucapkan lancar, setelah Daniel bertanya pada Zeya nama lengkap juga nama ayahnya. Daniel juga meminta ayahnya cepat-cepat mengurus surat-surat dan abaikan semua tamu yang keheranan. Daniel tidak mau peduli, ia melirik pada Zeya yang beberapa menit lalu resmi menjadi istrinya. Tangannya terangkat mengusap keringat yang membasahi keningnya dengan tangan kosong. Tindakannya itu membuat Zeya terkejut dan refleks menghindar

"Aku anter mama istirahat dulu" ucap Dilara merangkul bu Meisya yang nampak hampir pingsan, wajahnya juga pucat.

Zeya masih gelisah, apa sudah benar keputusannya ini?

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang