"kamu mau anak cowok atau cewek?" Daniel baru pulang kerja, masih mengenakan pakaian kerja dan menolak mandi dan makan seperti suruhan Zeya.
Daniel tadi bercerita kalau di kampus ada mahasiswa yang terlibat perkelahian di tengah-tengah di sedang mengajar. Itu membuat Daniel sangat kesal, lalu dia ke kantor dan sama pusingnya karena banyak pekerjaan. Makanya tadi dia pulang sedikit terlambat, ia langsung menarik Zeya dan memeluknya di sofa ruang tengah. Pelukan yang lama, dan Zeya biarkan karena Daniel memang nampak terlihat lelah.
Pertanyaan itu muncul kemudian, Daniel sembari mengelus perut Zeya yang mulai menunjukkan perubahan. Memasuki usia kehamilan lima bulan tentu saja, perutnya pelan-pelan membesar.
"Enggak peduli cowok atau cewek, yang penting dia sehat." Ucap Zeya yang diangguki oleh Daniel.
"Kalau ini cewek, berarti harus ada anak cowok juga." Daniel menatap pada Zeya, ada senyum tipis disana.
"Kamu mau punya anak berapa emang?" Zeya bertanya. Semakin hari semakin Zeya sadar bahwa ia sudah jauh lebih santai berbicara dengan Daniel. Terutama ketika mood nya berubah tidak jelas, Daniel bisa dengan alasan sepele ia bentak. Untungnya Daniel mau menepati janjinya untuk bersabar dan tidak gampang emosi.
Meski sebenarnya Zeya tetap menangkap jelas kekesalan itu dari kedua matanya.
"Terserah kamu, tubuh kamu milik kamu." Daniel dengan sangat akan mengerti bahwa-, hamil dan melahirkan itu bukan perkara mudah. Akan ada banyak perubahan juga bahkan pengorbanan. Apalagi Daniel masih mengingat ketika menjenguk Dilara ketika ia melahirkan Raisa, ia dengan lemah mengadu pada mamanya bahwa melahirkan itu sangat sakit. Dan dia Zeya, melihatnya tanpa sengaja menyentuh panci yang masih panas saja kemarin membuat Daniel khawatir bukan main.
Ia tau mungkin itu berlebihan, tapi tolong jangan lupa bahwa Zeya adalah perempuan yang sangat ia cintai.
"Yaudah, berarti abis yang ini lahir kita enggak usah bikin__
"Kalau soal itu tetep harus Zeya, itu kan hak saya." Zeya menatap kesal pada Daniel
"Kalau anaknya cuma satu, kita cuma bertiga, kurang rame. Kamu aja sodaranya tiga." Daniel kembali menyambung, memang ia mengerti hamil dan melahirkan tidak mudah. Tapi memiliki banyak anak dengan Zeya juga kedengarannya tidak buruk. Lagi pula Daniel tidak akan kemana pun, Zeya tidak akan melewatkan segala prosesnya sendirian.
"Katanya tadi tubuh aku punya aku." Ucap Zeya, mungkin saja Daniel melupakan kalimat sebelumnya.
"Iya tapi punya saya juga." Zeya membuang muka, membuat Daniel tertawa lalu mengigit bahunya karena gemas. Itu tidak sakit, tenang saja.
_____
"Ngapain pagi-pagi udah pada disini?" Raut wajah Daniel datar menatap Irish dan Dilara yang memasang senyum lebar tepat ketika Daniel membukakan pintu untuk mereka.
Ini masih pagi. Ini sungguh-sungguh masih pagi. Masih pukul tujuh kurang, Daniel baru saja ingin sarapan sebelum bekerja. Dua orang ini apa tidak punya kesibukan lain kah?
"Emang posesif kamu jadi suami, masa sama ipar dan temennya aja Zeya kamu batesin sih?!" Yang selalu nyolot dalam menjawab pertanyaan nya itu adalah Dilara tentu saja. Daniel menghela nafas
"Balthazar emang gak ngelarang kamu kesini pagi-pagi?" Daniel beralih menatap Irish, mantan mahasiswi nya itu menggeleng.
"Mas Altha lagi ke Jerman, emang dia gak bilang bapak?" Ucap Irish yang sudah menerima bahwa Balthazar tidak memperbolehkan nya ikut ke Jerman.
Mungkin Balthazar mengabari, tapi bukannya Daniel mau sombong. Tidak semua pesan di ponselnya yang ia baca tepat waktu. Ada yang ia lupa, ada juga yang tenggelam karena chat baru banyak masuk. Meski tidak ikhlas, Daniel tetap membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan dua perempuan aneh ini masuk ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.