Pak Daniel belum bangun. Subuh tadi sebenarnya sudah, tapi ia kembali tertidur setelah mengecek emailnya beberapa menit. Zeya sudah di dapur bersama Andin sedang ingin membuat sarapan sederhana. Yang sebenarnya Zeya malu menyajikannya di depan pak Daniel
"Apa beli aja ya?" Tanya Zeya pada Andin yang sedang menggoreng tempe
"Pak Daniel kalau emang cinta sama mbak, juga harus cinta sama kebiasaan mbak. Kita kan biasanya sarapan begini" iya, Zeya benarkan itu. Makan nasi dan lauk berat di pagi hari adalah kebiasaan. Itu saja syukur bisa sarapan. Zeya sering tidak sarapan berangkat kerja. Tapi, pak Daniel tidak mencintainya maka kenapa dia harus menerima kebiasaannya?
Pak Daniel yang sudah bangun sejak subuh, segera keluar rumah dan membuat Zeya terkesima. Karena pak Daniel malah berjongkok di halaman rumah mencabuti rumput liar yang mulai agak panjang di halaman rumah. Ia sempat pamit bertemu bude Aminah dan berbincang lumayan lama, pak Daniel juga tadi sempat pamit keluar. Ketika dia pulang, Zeya terkejut lagi karena ia membawa cat berwarna biru. Yang entah ia beli dimana, pak Daniel mengecat ulang pagar rumahnya yang memang mulai mengelupas.
Andin pamit sekolah setelah memberikan amplop tebal itu pada Zeya, isinya adalah sisa uang pak Daniel yang pernah ia kirim waktu itu. Anya juga sudah bertemu Zeya dan tentunya pak Daniel. Tadi ia menolak sekolah karena katanya mau bersama Zeya, tapi dengan halus bude Aminah berhasil membujuknya.
"Pak?"
Daniel menoleh, seingatnya ia sudah meminta Zeya untuk tidak memanggilnya begitu.
"Bapak..mau sarapan?" Tentu mau Zeya, sarapan dirumah keluarga Lazuardi paling lambat jam delapan. Sekarang sudah nyaris pukul sepuluh
"Iya, tunggu." Jawab Daniel membereskan sisa-sisa pekerjaannya. Ia puas melihat halaman rapi dan pagar rumah Zeya yang seperti baru.
Ia masuk ke dapur, ada Zeya yang sedang menyeduh teh. Diatas meja kecil ada nasi goreng dan tempe goreng, juga sayur. Daniel tidak tau namanya.
"Yang lain kemana?" Tanyanya pada Zeya yang masih berdiri menunggu air mendidih.
"Andin sama Anya sekolah" iya, mereka juga sempat pamit padanya tadi.
"Bude?"
"Bude jam segini biasanya udah ke kebun" tadi bude Aminah sudah cerita kalau sayuran disana sudah harus di panen hari ini. Rencananya, setelah menemui bude Murni ia akan kesana membantu bude Aminah.
Zeya yang tadi berbalik hendak mencari sendok mengurungkan niatnya, ia pejamkan matanya sejenak karena bertepatan dengan ia yang sedang berbalik, pak Daniel malah membuka kaosnya.
"Gerah" kata Daniel melihat ekspresi Zeya yang terkejut melihatnya membuka baju. Dan merasa Zeya tidak nyaman, ia pakai lagi bajunya meski sebenarnya sudah agak lembab karena keringat.
Daniel membalikkan piring di depannya, sebenarnya ia lapar. Sarapan adalah kebiasaanya sejak kecil. Setaunya ia tidak pemilih dalam hal makan, maka ia akan terima apapun yang Zeya sajikan.
"Ibu biasanya buat ini kalau kita mau sarapan" Daniel menoleh pada Zeya yang baru saja meletakkan teh hangat di dekat piringnya.
"Duduk, saya mau makan." Daniel sebenarnya tidak terlalu suka makan sendiri, di kampus ia biasanya makan dengan dosen lain. Dimana pun ia makan, setidaknya ia mengajak asistennya agar tidak sendiri. Tidak apa sebenarnya, ia saja yang enggan dilihat kesepian.
Zeya duduk, agak sedikit menjauh dari pak Daniel agar pria itu leluasa.
"Tapi kalau bapak enggak suka__
"Saya bahkan belum makan kamu udah bilang saya gak suka?" Nadanya biasa, pak Daniel mengucapkan itu sambil menyendokkan nasi ke piringnya.
"Karena bapak biasanya gak sarapan kaya gini" Zeya tau, karena yang buat sarapan kan dia dan Mutia.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.