Ini adalah ulang tahun ayahnya, Zeya sedari pagi sudah terus-terusan mengingat ayahnya. Sedang apa dia? Apakah sehat? Sudahkan dia makan? Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah ayahnya?
"Zey, tangan kamu itu!" Zeya menoleh pada Mutia, kemudian menunduk meringis merasakan tangannya begitu perih
"Kamu lagi mikirin apa sih?" Mutia menarik tangan Zeya ke wastafel, membilasnya agar darah disana menghilang, kemudian mengambil tisu dan mengeringkannya. Zeya mengiris jarinya sendiri, tapi dia tidak sadar.
"Aku gak sengaja" jawab Zeya, melihat luka sayat di tangannya yang tidak besar. Tidak apa-apa
"Hati-hati dong Zey, jangan bikin aku panik lah." Mutia mengijinkan Zeya membantunya memasak seperti kemarin-kemarin. Zeya sedang memotong dada ayam ketika ia melamun dan mengiris tangannya.
"Bentar ya, aku ke toilet dulu." Mutia mengangguk, membiarkan Zeya keluar dari dapur.
Zeya perlu membasuh wajahnya dengan air dingin agar tidak hilang fokus, ia berpapasan dengan bu Meisya yang baru saja pulang entah dari mana. Tadi pagi Zeya dengar dari Maryam kalau bu Meisya sudah kembali bekerja seperti biasa.
Itu tandanya, dia sudah sehat. Zeya mensyukurinya.
"Maaf bu?" ucap Zeya menghentikan langkah Meisya yang hendak menuju kamarnya. Zeya ingin meminta izin untuk keluar menemui ayahnya di penjara. Zeya merasa..rindu sekali dengan ayahnya.
"Nanti, saya capek." Bu Meisya menjawab acuh, ia juga hanya menatap sebentar pada Zeya.
"Ibu butuh sesuatu?" Meisya menggeleng, ia berbalik menatap Zeya. Memerhatikan penampilannya yang memang sangat sederhana.
"Jangan terlalu berusaha Zeya, saya tetap menerima kamu dirumah ini karena saya gak mau hubungan saya dan Daniel jadi rusak." Zeya tertohok. Meisya memang tidak bohong, ia sudah bicara pada Daniel untuk sebaiknya mencari perempuan yang sejajar, tapi Daniel sangat marah dan mengancam akan keluar dari rumah ini. Sementara Daniel, satu-satunya yang menahannya untuk tinggal dirumah ini adalah karena ayahnya yang minta. Selama ini Daniel jarang pulang, ia tinggal sendiri di apartment, tapi memang ayahnya meminta Daniel pulang dengan alasan sepi. Dilara dan suaminya juga sedang dalam pembicaraan untuk tinggal dirumah ini saja. Anak mereka hanya dua, hanya Daniel juga Dilara, berjauhan dari mereka berdua membuat mereka tidak rela. Impian Meisya memang adalah hidup bersama satu rumah dengan keluarga anak-anaknya. Namun agak sedikit melenceng dari rencana ketika Daniel malah memilih Zeya. Selama ini Meisya tidak protes karena mengingat Daniel saja.
"Maaf bu, saya cuma__
"Saya cuma akan menunggu sampai Daniel sadar" Meisya memotong lalu melanjutkan langkahnya. Detik itu pula air mata Zeya menetes. Sakit juga rasanya di rendahkan secara tidak langsung.
"Kamu mau apa tadi? Menjenguk ayah mu di penjara?" Meisya kembali kepada Zeya ketika ingatannya mengingat. Dari data-data yang di pegang polisi, hari ini adalah ulang tahun Ahmad Jaya. Meisya pernah membacanya dan masih ingat hingga hari ini. Karena bertepatan dengan itu, tanggal ini adalah tanggal dimana korban pembunuhan Ahmad Jaya di nyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Meisya bahkan masih dapat mengingat bagaimana tangis histeris keluarganya pada hari itu.
Zeya agak bingung, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.
"Silahkan, sampaikan salam saya juga untuk ayah kamu."
_____
Zeya benar pergi, dengan jalan yang masih sangat ia ingat juga mengandalkan taxi online yang Asih pesankan-, Zeya sampai di penjara dan melakukan segala prosesnya. Meski Ahmad Jaya lagi-lagi menolak bertemu, namun Zeya dengan tegas memaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.