Empat harian ini, rumah keluarga Lazuardi benar-benar sangat sibuk dan ramai. Ada beberapa sanak saudara yang datang dari kota yang jauh, juga teman-teman serta rekan-rekan kerja Meisya dan Arya yang datang memberi selamat. Pagi hingga siang tadi dapur super sibuk, Zeya bahkan merasa tubuhnya mulai pegal. Karena selain membantu Mutia, ia juga menyempatkan dirinya untuk membantu yang lain.
"Ih gak gitu om" Zeya mendengar rengekan itu, ia sedang membereskan meja makan dari sisa-sisa makanan dan sampah-sampah tisu. Ada Daniel dan Raisa yang sedang duduk di ruang tengah tidak jauh dari meja makan, entahlah sedang membicarakan apa. Zeya tidak terlalu dengar juga tidak tertarik.
Zeya sedang menyusun piring-piring ketika Raisa datang mendekat, di tangannya ada dua ikat rambut berwarna pink.
"Kak Zeya" panggilnya dengan nada panjang, ia mendongak menatap Zeya.
"Iya? Kenapa Raisa?" Zeya berjongkok, merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan Zeya.
"Om Daniel payah, dia gak bisa kepangin rambut Raisa." Ucapan Raisa itu membuat Zeya tertawa kecil, terdengar lucu di telinganya karena anak berusia lima tahun itu seperti putus asa.
"Kakak bantu ya?" Raisa mengangguk semangat, membiarkan Zeya mengangkat tubuhnya untuk duduk di salah satu kursi meja makan.
Daniel melihat itu dari duduknya yang hanya berjarak beberapa langkah, bagaimana telaten dan fokusnya Zeya mengepang rambut Raisa yang berceloteh. Daniel tau, keponakannya itu sangatlah cerewet.
"Kak Zeya, kata bunda, kakak gak bisa berenang ya?" Ucap Raisa, pelafalan huruf R nya belum jelas. Itu terdengar menggemaskan bagi Zeya. Ia jadi merindukan Anya. Sedang apa ya dia?
"Iya, Raisa bisa renang gak?" Raisa mengangguk.
"Aku dari umur tiga udah les renang" jari-jari kecil Raisa terangkat memperlihatkan pada Zeya tiga jarinya.
"Wah..hebat ya, Raisa pasti pinter renang." Suara Zeya yang lembut itu membuat Daniel merasa, Zeya akan cocok kalau mau jadi guru TK.
"Oma, bagus gak rambut Raisa?!" Ucap Raisa yang rambutnya sudah selesai Zeya kepang.
"Bagus banget, tambah cantik deh Raisa." Jawab Meisya yang baru datang dari lantai atas.
"Gimana Zeya, bajunya pas gak?" Tadi siang, bu Meisya membagikan baju kebaya serta rok batik untuk para ART. Yang nanti akan di pakai diacara pernikahan Daniel yang sebentar lagi itu.
"Pas kok bu, makasih." Zeya sebenarnya berfikir untuk tidak mau ikut ke hotel, tapi kata bu Meisya ia harus. Mereka akan datang sebagai bagian dari keluarga. Betapa baiknya bu Meisya karena menganggapnya begitu, padahal Zeya baru sebulan bekerja disini.
Sebulan, dengan gaji pertama yang langsung ia kirimkan pada Andin seluruhnya untuk melunasi sebagian kecil utang dan membayar kontrakan mereka.
"Syukurlah kalau cocok" Zeya hanya tersenyum, kembali menyusun piring-piring diatas meja untuk ia bawa kembali ke dapur.
"Daniel, kamu tuh mau nikah, kenapa lesu banget sih?" Zeya dengar itu, karena ruang tengah memang tidak jauh jaraknya dari ruang makan. Maka ketika bu Meisya menghampiri Daniel dan mengucapkan itu, ia masih dengar.
"Ya enggak papa" Daniel menjawab pelan, juga terdengar datar.
"Kamu mau nikah sama Priska, jadi lupain Tasya itu. Orang dia gak pilih kamu kok, ngapain repot-repot mikirin dia." Ucapan bu Meisya itu diucapkan dengan suara lumayan keras. Zeya tidak ingin di tuduh menguping, makanya ia cepat-cepat pergi dari sana.
_______
Daniel menatap lembar undangan di tangannya. Pernikahan itu sudah berlangsung seminggu yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.