Seperti biasa, Zeya bangun lebih awal. Pukul empat pagi ia masuk ke kamar mandi bersih-bersih dan berganti baju. Memanfaatkan Daniel yang belum bangun, Zeya segera turun ke dapur. Membuka jendela dapur dan membiarkan udara subuh masuk.
"Zeya?" Asih ternyata sudah bangun, ia mendekat pada Zeya dan memeluknya sebentar.
"Sebenarnya semalem aku mau nyamperin, tapi kamu langsung ke kamar. Aku gak enak negur" bagaimana pun juga, Zeya sudah jadi nyonya dirumah ini. Maka dia setara dengan anggota keluarga Lazuardi yang lain.
"Maaf ya, semalem aku capek." Asih mengangguk, kemudian di bantu Zeya menyiapkan sarapan. Maryam dan Mutia menyusul kemudian.
"Asih?" Zeya memanggilnya pelan, mereka berada di dapur sementara Mutia dan Maryam menata meja makan.
"Aku butuh kerjaan" Asih tau itu, Zeya memang pernah meminta bantuannya.
"Zey, mas Daniel itu kaya loh. Dia bukan cuma sekedar dosen, usahanya banyak diluar." Dan Asih masih bingung, kenapa Zeya kukuh ingin bekerja? Dia tidak tau apa kalau suaminya bahkan punya lima mobil sekaligus?
"Iya, tapi kamu ngerti kan posisi aku?" Asih mengangguk, ia tidak mau pura-pura buta dan tidak tau. Gelagat bu Meisya memang kentara sekali tidak menyukai Zeya. Walaupun dia hanya bicara seadanya dan tidak menyakiti Zeya, justru pengabaiannya itu sudah cukup membuat Zeya makan hati.
"Emang mas Daniel kasi izin?" Zeya belum tau, dan sebenarnya tidak berniat melakukan izin. Meskipun Zeya mengerti bahwa izin suami memang penting
"Zey, kopi saya mana?" Asih dan Zeya kompak menoleh, Daniel memasuki dapur dan Zeya rasa Mutia sudah buat kopi untuknya. Selama bekerja di rumah ini, selama itu juga Zeya tau kalau tugas membuat kopi untuk Daniel adalah milik Mutia.
"Tadi udah dibuatin Mutia, mungkin udah di meja." Zeya tadi lihat kopinya sudah di bawa Mutia keluar
"Emang Mutia istri saya?" Asih dan Zeya saling pandang sejenak. Asih sendiri sudah peka kalau Daniel mulai kesal
"Jawab" dan seperti biasa, Daniel pasti mendesak pertanyaannya di jawab.
"Bu-bukan, tapi tadi dia__
"Buatin yang baru, mulai sekarang saya cuma mau minum kopi buatan kamu." Lalu Daniel meninggalkan dapur. Disitulah Asih mulai lega
"Ya ampun, perasaan sebelum nikah auranya gak segalak tadi." Zeya setuju, Daniel memang pandai sekali membuat orang bungkam.
Zeya membuat kopi yang baru, sebenarnya dia tidak mau ke meja makan. Dia tidak mau bergabung disana, tapi Daniel pasti marah.
Maka Zeya tetap kesana meletakkan kopi itu di dekat Daniel yang sudah rapi siap untuk bekerja.
"Andin kapan kesini?" Itu pertanyaan Dilara, pertanyaan yang sebenarnya sangat Zeya sayangkan. Karena kenapa harus di depan bu Meisya?
"Minggu depan" Daniel menjawab, ia tarik kursi Zeya mendekat karena duduk terlalu berjarak dengannya.
"Jadi kuliah disini?" Arya ikut bertanya, Daniel memang bercerita dan sempat meminta pendapat pada kakak dan ayahnya. Hanya pendapat bukan persetujuan. Usulan untuk tidak tinggal bersama itu adalah saran Dilara yang Daniel dan Arya juga setujui.
Zeya melirik pada bu Meisya yang nampak menatap Daniel penasaran. Dia mungkin berfikir bahwa-, sudah berani ya Zeya membawa anggota keluarganya dari kampung kesini? Ikut menikmati harta anaknya?
"Jadi, persiapannya udah selesai." Zeya tidak pernah bicarakan ini. Karena sebenarnya dia tidak setuju. Tapi melarangnya juga berarti menghalangi mimpi Andin.
"Andin siapa?" Hening sejenak ketika bu Meisya mengeluarkan pertanyaannya
"Adik Zeya" Daniel menjawab singkat, tugasnya hanya ada pada mengurus persiapan juga biaya kuliahnya. Tempat tinggalnya diatur Dilara dan apartmentnya di berikan oleh ayahnya. Zeya tidak tau itu, sebaiknya tidak usah karena dia pasti akan menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.