CA VA ALLER

12.6K 1K 15
                                    

Susahnya tinggal di desa ya ini, jaringan telepon disini masih tersendat-sendat. Bahkan kadang tidak ada sama sekali. Pagi begitu dingin siang begitu panas. Sepi, jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh. Sungai kebun bahkan hutan sangat mudah di temui.

Kemana-mana juga jauh, seperti bude Aminah yang katanya ke pasar sudah hampir dua jam tapi belum kembali juga karena jaraknya jauh.

Bukan ponselnya yang rusak, tapi memang jaringannya jelek. Tapi Daniel juga kesal, jadi sudah tiga kali ia memukul layar ponselnya. Kekesalan itu sebenarnya di picu oleh Zeya yang malah ikut ke pasar. Ia yakin, perempuan itu hanya sedang berupaya menjauhinya. Setelah permintaan tidak masuk akalnya tadi, Daniel masih ingin bicara, masih ingin menjelaskan. Tapi Zeya suka sekali lari dari masalah.

Daniel memilih keluar kamar, ada Andin di dapur, sedang berusaha menyalakan api pada kayu bakar. Apakah tidak ada kompor gas disini?

"Mau apa Andin?" Pertanyaan apa itu Daniel? Orang berada di dapur sudah pasti masak, mana mungkin main biliard?

"Mau masak pak, buat makan siang." Andin menjawab canggung seperti biasa

"Kenapa gak pake kompor" Daniel melihat adanya kompor dan gas nya, kenapa repot-repot menyalakan api?

"Iya, tapi lebih cepet begini. Bude juga sukanya masak pake kayu begini." Ok, mungkin ada perbedaan bagaimana memasak dengan kayu dan dengan kompor gas. Yang jelas Daniel tidak paham

Aminah dan Zeya datang kemudian, Daniel berbalik dan langsung bertemu pandang dengan Zeya.

"Cuma ngobrol" katanya berniat agar Zeya tidak salah paham, karena dirumah hanya menyisakan dia dan Andin tadi. Anya masih di sekolah dan sedang banyak kegiatan katanya.

Namun ucapan Daniel itu tidak mendapat tanggapan, Zeya bahkan mengalihkan pandangannya kelewat cepat. Wanita itu bukan kembali ke mode awal. Dia bukan lagi segan padanya, tapi sepertinya malas bertatap muka dengannya.

"Ikut saya sebentar, saya mau ngomong." Zeya melepaskan tangan Daniel dari lengannya.

"Saya mau masak"

"Saya mau ngomong, masak bisa nanti." Aminah yang posisinya tidak jauh dari Zeya tentu mendengar itu.

"Zeya, mungkin penting. Biar bude sama Andin yang masak." Zeya menghela nafas. Padahal dia sedang tidak ingin. Zeya hanya mau mengurangi segala intensitas, interaksi, juga kontak fisik bila perlu-, dari pak Daniel.

Mendengar ucapan Aminah, Daniel kembali meraih tangan Zeya dan membawanya ke kamar mereka.

"Saya tau kamu masih kesel, jadi mending nanya. Tanya apapun yang mau kamu tau, pasti saya jawab." Zeya tidak menjawab, tidak juga melihat kearah Daniel, ia duduk di tepi kasur menatap keluar jendela.

"Kamu mungkin masih penasaran sama Tasya__

"Tasya itu perempuan yang bapak suka kan?" Zeya mendongak, melihat kearah Daniel yang terdiam. Pria itu hanya mengumpat dalam hati, karena dari mana lagi Zeya tau itu?! Dilara kah? Apa mamanya?

"Dulu" Zeya tidak yakin, butuh beberapa detik untuknya menjawab. Bukankah sebelum kesini Daniel lebih dulu mendatangi Tasya? Karena memang dia lebih penting kan?

"Zeya..saya minta maaf. Maaf karena malam itu saya gak langsung kesini. Tasya panik, dia tinggal jauh dari orang tua begitu juga Satya. Saya juga opsi kesekian yang mereka mintai tolong. Maaf, dan sebaiknya kamu gak salah paham" Zeya masih diam, dengan sekuat tenaga untuk tidak usah percaya dan tidak membiarkan hatinya mau memaafkan Daniel.

"Lagi pula saya gak marah, kenapa saya harus marah?" Nyatanya memang sulit sekali berbicara baik-baik dengan orang keras kepala

"Kamu berhak marah karena kamu istri saya, tapi kamu gak perlu khawatir. Saya akan setia dengan pernikahan ini" Daniel berucap sungguh-sungguh. Kesungguhan yang nyaris membuat Zeya terlena. Namun seketika nama bu Meisya terlintas di kepalanya.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang