BEFORE YOUR MEMORY FADES

14.4K 1K 37
                                    

Zeya tidak tau sekarang sudah jam berapa, hari sudah siang. Matahari sudah sangat menyilaukan mata di luar sana. Zeya juga tidak tau dan segan bertanya, kenapa pak Daniel menyetir tanpa bertanya alamat padanya. Dia seolah sudah tau jalan ini, dan ia yakin tidak akan tersesat.

Zeya juga diam karena jalan yang di tempuh mobilnya sudah benar, itu lah mengapa dia bingung.

"Saya lapar" ucap Daniel memecah hening yang sudah terjadi sejak beberapa jam tadi.

Zeya juga, tapi dia tidak punya uang. Dia juga tidak bawa makanan yang bisa ia berikan pada Pak Daniel. Andai pria itu tidak keras kepala, dia pasti sudah nyaman dirumah dan makan siang.

Zeya tau jalan ini, seingatnya terminal bus berada tidak jauh di depannya. Ia menoleh pada pak Daniel yang fokus menyetir

"Kalau gitu, saya turun di terminal terus bapak pulang aja." Ucap Zeya dengan satu kali tarikan nafas. Daniel yang mendengar itu spontan berdecih

"Solusi macam apa sih itu Zeya?" Nadanya terdengar kesal, Zeya tambah merasa tidak enak.

Ucapannya tidak mendapat jawaban, Daniel menoleh sebentar pada Zeya yang sudah menunduk dengan dua tangannya saling meremas.

"Kenapa kamu kayaknya enggak mau banget saya ikut?" Meski perjalanan ini adalah perjalanan lumayan panjang, Daniel yakin mereka akan sampai malam hari. Karena alamat lengkap yang di dapatnya dari Asih mengatakan begitu.

Tapi Daniel tidak mengeluh, sudah seharusnya memang ia disini menemani Zeya menghadapi keluarganya.

"Jawab Zeya" orang-orang di sekitar Daniel sudah tau bahwa ia adalah tipe orang yang selalu menuntut pertanyaannya di jawab. Para anak didiknya di kampus bahkan memilih menjawab asal-asalan dari pada Daniel dua kali lipat lebih marah karena pertanyaannya tidak di gubris.

Itu berlaku pada siapapun termasuk juga Zeya.

"Karena..karena bapak enggak akan suka disana." Suara Zeya pelan. Dan itu jujur, Zeya ragu pak Daniel akan nyaman dirumahnya yang kecil, sempit, tidak terlalu bersih, tidak ada fasilitas disana. Daniel yang hidup di istana tidak akan suka disana.

"Tau dari mana? Saya ada ngomong gitu ke kamu?" Memang tidak pernah, ini kesimpulannya sendiri. Tapi serius, kamar mandi di kamar pak Daniel saja lebih luas dari kamar tidur Zeya.

"Saya pernah ngomong gitu Zeya?" Daniel kembali mendesak Zeya untuk menjawab pertanyaannya.

"Enggak" iya, memang tidak.

"Kalau gitu jangan menyimpulkan hal yang kamu sendiri gak tau benar atau tidaknya." Zeya tidak menjawab. Tidak tau mau menjawab apa. Beda memang rasanya berbicara dengan orang pendidikan tinggi seperti pak Daniel. Zeya merasa bodoh terus di depannya.

Mobil Daniel berbelok, ia memarkirnya mobilnya pada salah satu warung makan sederhana yang tidak banyak orang di dalamnya.

Zeya tidak mau turun, tapi Daniel pasti akan curiga, dan Zeya pasti tidak mau menjelaskannya. Maka ia tetap turun, mengambil duduk agak jauh dari pak Daniel. Tadinya, tapi dalam sekali tarikan pak Daniel menarik kursinya mendekat.

"Maaf pak" ujar Zeya segera menyingkirkan tangannya yang refleks mendarat diatas paha pak Daniel karena terkejut kursinya tiba-tiba ditarik.

Daniel tidak menjawab, tidak juga keberatan. Ia menoleh pada Zeya yang pandangannya memilih menatap keluar jendela yang memang dekat dari arahnya. Daniel mengulurkan tangannya, memijat pelan pinggang belakang Zeya. Tindakannya itu tentu semakin membuat Zeya terkejut, pandangannya beralih pada pak Daniel.

"Capek ya, duduk berjam-jam di mobil?" Ucapnya, yang tidak mampu Zeya jawab. Iya memang pegal. Zeya hanya duduk, pak Daniel pasti lebih lelah karena dia menyetir.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang