Daniel meraih ponselnya yang di letakkan Zeya diatas meja, panggilan itu masih tersambung. Ia mengambil pulpen dan kertas untuk mencatat nomornya lalu segera mematikan panggilan itu juga memblokir nomornya sekalian.
Ia mencari kontak Satya dan mengirim kan foto lalu mendial nomornya. Panggilan itu diangkat Satya kurang dari lima detik.
"Gue udah kirim nomor ke elo, itu nomor Tasya, gue gak tau dia dapat nomor gue dari mana lagi. Tapi Satya, gue bersumpah gue enggak tau dia dimana dan gue enggak peduli sama urusan rumah tangga lo, mending lo telepon Tasya atau lacak nomornya dan jangan ganggu gue. Oke? Lo harus ngerti!" Ucapan Daniel itu tanpa memberi Satya kesempatan untuk menjawab, juga menekankan kalimat terakhirnya. Daniel banting ponselnya ke atas meja lalu segera menyusul Zeya ke kamar. Dia sedang menghadap ke jendela dan sedang menelpon. Dengan sabar, Daniel duduk di tepi kasur menunggu Zeya selesai.
"Iya, kalau gitu besok aja. Makasih mbak" Zeya mematikan panggilan itu cepat karena sudah ada Daniel di belakangnya.
"Telpon siapa?" Zeya menoleh sekilas, membuka pintu dan keluar tanpa menghiraukan Daniel.
"Zeya!" Daniel mengikutinya hingga mencapai dapur
"Aku mau cuci piring, kamu enggak usah ikut." Zeya tadi memang hanya membereskan meja makan selepas makan siang tadi, ia tidak langsung cuci piringnya karena tiba-tiba malas.
"Sini, saya mau ngomong." Daniel meraih lengan Zeya, membawa Zeya duduk di meja makan bersebelahan.
"Denger baik-baik dan jangan potong ucapan saya" Zeya belum bereaksi apa-apa ketika bel berbunyi. Daniel ingin mengumpat mendengarnya, terlebih ketika Zeya malah berlari membuka pintu tanpa persetujuan darinya.
Sial sekali memang.
Rumah tangganya ikut terguncang karena rumah tangga Tasya dan Satya, mungkin ia harus temui Satya setidaknya untuk meninju wajahnya yang menyebalkan itu-, karena berani-beraninya dia muncul dan menuduhnya menyembunyikan Tasya, tepat di depan Zeya. Ia sudah keluar dari rumah tanpa menghiraukan bujukan mamanya, dan inikah hasilnya? Rumah tangganya goyang dan Zeya masih dingin padanya.
Daniel menyusul Zeya, dan semakin kesal saja rasanya melihat yang bertamu adalah tetangga sebelah. Daniel seolah merasa darahnya mendidih.
"Ada apa sayang?" Daniel mendekat, tangannya memeluk pinggang Zeya hingga Zeya menoleh padanya.
"Gini bro, aku__
"Umur kamu berapa?" Daniel memotong, muak di panggil bro.
"Aku dua tujuh, kalo kamu?" Dua tujuh, lumayan dekat umurnya dari Zeya. Dan itu tidak bagus
"Saya tiga puluh, jadi jangan panggil saya bro dan saya juga enggak suka di panggil bro." Zeya merasa tidak enak mendengarnya, Daniel seperti menegur anak-anak. Mungkin karena dia dosen, maka ucapannya barusan terdengar begitu.
"Oh..iya..mas" Sadie gelagapan, menatap tak enak pada Zeya dan Daniel, lalu mengulurkan kantong plastik berwarna putih pada Zeya.
"Kebetulan ibu baru panen mangga, siapa tau kalian suka. Ini udah mateng kok." Zeya menerimanya, apalagi aroma mangga itu memang menguar dan membuat Zeya tertarik.
"Makasih ya Sadie, kamu__
"Kalau gitu kami masuk dulu Sadie, makasih mangga nya." Daniel menarik Zeya untuk masuk dan menutup pintu ketika Sadie belum selesai mengiyakan pamit Daniel.
"Kamu sadar gak kalau kamu itu enggak sopan banget sama tamu?" Ucap Zeya, kesal karena Daniel menutup pintu tepat di depan wajah Sadie. Bagaimana kalau Sadie cerita ke tetangga-tetangga yang lain bahwa orang baru yang tinggal di komplek ini tidak sopan? Zeya tidak ada rencana di jadikan bahan gosip oleh orang-orang. Di desa, para tetangga itu nyaris seperti saudara saking dekatnya. Tapi lihat Daniel, ucapan terimakasihnya tadi pasti tidak ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.