Dilara datang lagi, kali ini ia sendirian membawa banyak camilan yang ia beli di perjalanan. Dilara bilang dia bosan, meminta Zeya menemaninya menonton film atau apapun sampai Raisa selesai dengan lesnya.
Mereka sedang di dapur berniat memotong buah selesainya mereka menonton satu judul film.
"Aku sebenarnya udah agak gak betah di rumah, tapi papa sama mama masih ngelarang pindah, terus Abian juga malah setuju sama papa. Katanya biar enggak usah jauh-jauh. Padahal Abian itu rumahnya ada loh." Kalimat terakhirnya seperti mengomel di telinga Zeya.
"Ya..enggak papa mbak. Masih bisa tinggal sama orang tua." Dilara menjadi tidak enak, apalagi Zeya yang mengucapkannya sembari menunduk menatap buah di depannya.
"Maaf Zey, aku__
"Enggak kok mbak, maksud aku..mbak jadi bisa tiap hari ketemu sama orang tua. Enggak jauh, kalau kangen tinggal peluk." Oh..Zeya jadi merindukan ayah dan ibunya.
"Iya sih. Tapi enggak nyaman jadinya karena ada orang asing." Dari dulu, Tasya dan Dilara memang tidak benar-benar dekat. Di masa lalu mereka hanya menyapa singkat ketika Tasya datang ke rumah diajak Daniel. Selebihnya, seingat Dilara mereka memang tidak akrab.
Dan bukan cuma Dilara yang merasakan itu, Abian juga mulai pelan-pelan protes pada sang kepala keluarga Arya Lazuardi. Tapi belum ada kemajuan karena lawannya adalah Meisya Lazuardi.
"Siapa?" Karena setau Zeya, dirumah hanya ada Dilara, Raisa, Abian, juga bu Meisya dan pak Arya, atau Asih, Mutia dan Maryam.
"Kamu enggak tau ya? Tasya udah beberapa hari ini tinggal di rumah. Daniel enggak ada kasih tau ke kamu?" Zeya menggeleng pelan. Daniel itu ya, sepertinya memang tidak berniat berbagi apa-apa padanya kecuali harta.
"Kenapa? Maksud aku...dia__
Tapi Zeya merasa tidak berhak berpendapat disini, apalagi bu Meisya memang lebih memilih Tasya daripada dirinya.
"Enggak tau tuh! Mama tiba-tiba ngajak dia, katanya kesepian. Padahal dirumah rame loh! Aneh emang." Berarti besok ia akan bertemu Tasya. Dilara tadi mengatakan kalau arisan keluarga akan diadakan dirumah. Acara yang memang diadakan tiap tahun dan selalu di rumah bu Meisya karena dia adalah anak sulung. Arisan yang juga menjadi ajang berkumpulnya semua keluarga. Zeya gugup sekali kalau harus datang kesana, tapi sebelum dia menolak, Dilara sudah lebih dulu mewanti-wanti nya tadi.
Daniel datang dan Dilara masih disana, hanya menatap Dilara sekilas, Daniel langsung menghampiri Zeya yang sedang menyiapkan bahan untuk masak makan malam.
Seperti yang sudah-sudah, Daniel hendak memeluk Zeya, tapi Zeya menghindar sambil memegang kentang yang berniat ia olah.
"Mandi sana" ucapnya, Daniel tidak mau dengar, ia tetap memeluk Zeya menghirup wangi rambutnya.
"Mbak Dilara dari kapan disini?" Bukannya Daniel tidak suka. Tapi Dilara itu hobinya jalan-jalan. Dia khawatir Dilara mengajak Zeya jalan-jalan, ya tidak masalah. Tapi destinasi jalan-jalan versi Dilara itu jauh. Dan Daniel memang tidak ingin berjauhan dengan Zeya.
"Dari tadi siang, ada buah__
"Dari Sadip lagi? Dia beneran tukang buah apa gimana sih?!" Daniel agak kesal, kapan-kapan sepertinya ia harus menemui orang itu dan mengatakan untuk berikan saja buahnya pada tetangga lain.
"Bukan, makanya dengerin dulu orang ngomong, kamu aja terus yang mau di dengar." Ucapan terakhir Zeya dengan nada pelan dan sambil kembali memotong kentangnya. Tapi Daniel tetap dengar karena jaraknya memang mepet sekali dengan Zeya.
"Iya, Maaf." Ucap Daniel pura-pura menyesal, bersandar pada meja dapur menatap Zeya yang mengikat tinggi rambutnya kali ini. Tidak rapih, beberapa anak rambut terlepas dari ikatan. Tapi Zeya tetap cantik sekali di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.