Daniel merasa hancur, ia sekarang tau betapa kecilnya dia di hamparan semesta; ketika melihat Zeya diam membisu dengan air mata yang turun deras, menatap mayat ayahnya yang terbungkus kain. Daniel meminta ambulan untuk mengantar jenazah ayah ke kampung halaman seperti permintaan Zeya pada Dilara dan bukan padanya. Di dalam ambulan yang cahayanya remang, ada Andin yang merebahkan kepalanya di lengan ayahnya, tubuhnya terguncang karena masih terisak-isak, ada Dilara yang duduk di sebelahnya menenangkan, Daniel duduk di sebelah Zeya. Ia melihat Zeya seperti kosong. Meski dia menangis, namun tanpa sedikit pun suara.
"Zeya? Saya disini dan kamu boleh menangis sekeras yang kamu mau." Daniel berbisik, menunduk mengecup kening Zeya yang tidak bereaksi.
Polisi menerangkan bahwa Ahmad Jaya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di dalam selnya. Entah darimana, tapi Ahmad jaya memegang sebuah pisau kecil yang lumayan tajam, ia gunakan itu untuk mengiris pergelangan tangannya hingga nadinya putus. Luka robek di tangannya cukup dalam dan panjang. Pasti sakit, kenapa Ahmad Jaya kuat melakukan itu? Kenapa dia tega menyerahkan seluruh hidupnya secara cuma-cuma ketika tuhan belum memanggilnya? Kenapa dia sampai hati melakukan itu sementara dia tau ada ketiga anaknya yang dengan sabar selalu menunggu?
Daniel menunduk, menghapus jejak-jejak air matanya yang tak sederas Zeya dan Andin. Kondisi Zeya yang sangat amat terpukul membuat Daniel seperti kehilangan akal sehat.
Ia tidak tau mau membujuk Zeya bagaimana, atau menenangkannya dengan cara apa.
"Bu, kita udah memasuki kampung. Sirine nya saya nyalakan." Ucap sopir ambulans itu. Bertepatan dengan bunyi nyaring sirine ambulan, tangis Zeya semakin deras. Ia menunduk. Seluruh memori semasa dimana ia dan ayahnya masih bersama terputar di kepalanya.
Kalau tidak ada utang, mereka tidak menderita. Kalau bukan karena utang, ayahnya tidak akan merampok. Dia pasti stress, frustasi, menderita, dan memilih mengakhiri hidupnya dari pada terjebak disana lebih lama.
Kedatangan ambulans di sambut banyak orang yang bahkan sudah memasang tenda, ada Aminah yang langsung memeluk Andin. Ada Anya yang di gendong salah seorang tetangga. Adiknya itu sudah mengerti situasinya, dia menangis meraung-raung dan Zeya semakin merasa sedih.
Jenazah di baringkan, dan Zeya mendekat pada ayahnya. Menunduk menempelkan keningnya pada kepala ayahnya. Dia rindukan dia. Sangat. Pelukan, nasehat, serta teguran halusnya ketika ia salah. Sekarang apa? Zeya tidak dapat apapun lagi. Tangisnya kembali pecah, mengeluarkan suara yang membuat Daniel ikut merasa pilu.
"Aku sama siapa yah? Aku enggak mau di tinggal! Ayah bangun!" Itu adalah kalimat pertamanya setelah sepanjang jalan dari jakarta hingga disini Zeya hanya diam.
"Zey, jangan ngomong gitu. Ada saya disini, ada mbak Dilara, kamu enggak sendirian." Zeya tidak peduli pada ucapan Daniel itu, ia juga melepaskan tangan Daniel dari bahunya.
Ayahnya pergi, ibunya juga pergi. Dengan cara yang sama. Zeya semakin keras menangis
"Ayah, aku mau ikut ayah" ucapannya itu pelan, seperti berbisik di telinga ayahnya. Namun Daniel yang duduk di sebelah Zeya dengan kekhawatirannya mendengar itu dengan jelas.
"Jangan berfikir begitu Zeya, jangan ngomong gitu. Maafin cara ayah pergi, tapi ini mungkin udah jalannya. Kita gak bisa apa-apa." Zeya tidak hiraukan, ia tetap menangis. Sampai Dilara ikut mendekat dan berusaha memeluknya
"Zey, ada aku. Kamu yang sabar ya? Ini gak mudah, tapi kamu harus sabar, harus kuat, dan kamu enggak sendiri." Zeya tidak peduli semua itu. Semua sudah selesai. Hidupnya, hidup ayahnya, juga pernikahan sialan ini.
_____
"Nak, yang sabar ya? Kamu boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut." Arya Lazuardi mengelus lembut bahu Zeya. Mereka sudah di pemakaman. Sudah selesai segala prosesnya. Ahmad Jaya di makamkan tepat di sebelah makam istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MASTERPIECE OF TRAGEDY
RandomI want you. All of you. Your flaws, your mistakes, your imperfection, your happiness and sadness, everything.