NOUVEAU CHAPITRE

14.9K 1.1K 23
                                    

Daniel sudah bangun sejak pukul tiga pagi tadi, sebenarnya sejak kemarin dan malam ini ia agak susah tidur. Bukan karena tempat baru, tapi memang ia tidak terbiasa tidur tanpa pendingin ruangan. Kamar ini gerah, jujur saja memang iya. Ada kipas yang menyala sepanjang malam, kipas yang sebenarnya bukan kipas besar juga. Tapi itu tidak cukup bagi Daniel. Ia terbiasa tidur dengan pendingin ruangan yang terus menyala sampai pagi hari.

Juga, kasur dirumah Zeya adalah kasur berbahan kapuk. Yang mungkin sudah lama karena ia tetap merasa seperti tidur di lantai. Keras

Dan Daniel tidak mau mengeluhkan itu disini, meski bahkan sinyal ponsel saja tidak terlalu lancar pula. Daniel sampai membanting ponselnya kemarin karena emailnya tidak mau terbuka karena jaringan yang lambat

Namun meski sudah bangun dari tadi, Daniel tetap di tempatnya. Menatap wajah tenang Zeya yang tertidur, Zeya yang ia paksa tidur disini dengannya karena lagi-lagi dia menyelinap ke kamar Andin saat dia di kamar mandi.

Ia tidak tau kenapa, tapi Zeya yang takut juga segan padanya masih belum mengalami peningkatan. Zeya bahkan tidur sangat di ujung karena takut bersentuhan dengannya.

Aneh, padahal mereka sudah lebih dari bersentuhan.

Tangannya terangkat, menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi kening Zeya. Sebenarnya ia ingin bangunkan Zeya, tapi karena tidurnya pulas sekali, Daniel memilih menahan diri. Lagi pula, ada Anya dan Andin yang bisa mendengar apapun kegiatan mereka. Karena jujur saja, ia agak berisik.

Daniel berisik, ia akui itu.

Ia berencana menemui bude Murti hari ini, tentu saja untuk melunasi hutang-hutang Zeya juga bertanya. Kenapa bisa orang tua Zeya sampai berutang pada rentenir? Karena ia yakin, Zeya tidak akan mau cerita. Jangankan tentang orang tuanya, tentang dirinya sendiri saja Zeya tidak.

Merasakan pergerakan dari Zeya, Daniel menunggu hingga perempuan itu bangun. Perempuan yang meski berpakaian sederhana dan tanpa riasan wajah, dengan rambutnya yang lebih sering ia gerai rapi, Daniel tidak bisa bohong. Zeya memang wanita yang cantik.

Tidak tau apakah ia sudah mulai jatuh cinta atau bagaimana, Daniel menyadari bahwa dirinya terlalu rakus memperhatikan Zeya. Apapun yang dia lakukan, Daniel selalu tertarik. Meski Zeya kentara sekali tidak mau dekat-dekat dengannya, juga menolak segala tindakannya. Namun Daniel tidak mau dengar itu, ia tetap akan beli tv untuk Anya.

Zeya terbangun, pandangan mereka bertemu dan tentu saja Zeya memutuskan itu kurang dari tiga detik.

Ia memang selalu bangun subuh, sama seperti sekarang, Zeya sedang celingukan mungkin mencari ikat rambutnya. Zeya itu agak berbeda, dia berkegiatan lebih sering tanpa mengikat rambut, tapi ketika tidur, ia ikat rambutnya rendah. Tidak apa, Daniel suka melihatnya.

"Cari apa?" Zeya berbalik, hanya menggeleng kemudian beranjak turun.

"Zeya, saya boleh minta tolong?" Daniel ikut bangun, duduk diatas kasur dengan Zeya yang menatapnya.

"Ada apa pak?" Pak lagi, ia mulai risih. Yang memanggilnya begitu hanya orang-orang di kampus. Zeya mau ia larang bagaimana? Lagi pula apa dia tidak diberi tahu bahwa dirumah dia di panggil mas?

"Sini" Daniel menepuk sisi kasur tempat Zeya tidur tadi

"Mau apa?" Berbicara dengan Zeya memang tidak pernah mudah. Bisa di bilang Zeya adalah orang yang berbelit-belit dalam berbicara. Daniel sebenarnya sangat tidak suka itu, Balthazar bisa ia pukul kepalanya kalau kebanyakan basa-basi. Dan mana mungkin ia begitu pada Zeya?

"Sini aja, cuma sebentar." Daniel juga tidak yakin, sebenarnya dia tidak pernah sebentar kalau menyangkut hal ini.

Dengan keraguan yang nampak jelas di wajahnya, Zeya kembali naik keatas kasur. Ia nyaris berteriak ketika Daniel membaringkannya juga menindih tubuhnya.

A MASTERPIECE OF TRAGEDY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang