Part 5

126 11 0
                                    

Ranya menaiki tangga rumahnya dengan langkah yang perlahan, melewati kamar Leonel untuk menuju kamarnya yang berada di bagian pojok. Dari sudut matanya, ia melihat Leonel dengan langkah buru-buru menghampirinya.

"Kak? Kakak nggak diapa-apain kan?" tanya Leonel, matanya penuh kekhawatiran melihat kakaknya berjalan melewati kamarnya yang kebetulan pintunya terbuka lebar.

Ranya tersenyum simpul. "Nggak, jam tujuh nanti ke kamar kakak ya," ujarnya lembut.

"Kenapa nggak sekarang aja?"

Ranya tersenyum lebih lebar. "Mau bersih-bersih dulu, bau keringet."

Leonel mengangguk pelan, tampak lega. "Oh, yaudah," katanya, kemudian kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dengan hati-hati.

Ranya melanjutkan langkahnya menuju kamar, membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia menutup pintu dengan perlahan dan bersandar di belakangnya. Tarikan napas panjang terdengar dari bibirnya yang merah. Pikirannya berputar, mengingat kejadian-kejadian yang baru saja ia alami di luar sana.

Sementara itu, di tempat lain, Keegan baru saja tiba di rumah. Ibunya, Maya, sedang duduk di ruang tamu dengan segelas teh di tangannya. Wajahnya tampak lelah namun tetap mencoba tersenyum saat melihat putranya masuk.

"Dari mana, nak?" tanya Maya, mencoba menyembunyikan rasa khawatirnya di balik senyuman.

"Luar," jawab Keegan singkat, menurunkan tas ranselnya dengan suara berat yang mengisi ruangan.

Maya menatap putranya dengan lembut. "Kamu udah lama loh nggak cerita sama Mamah, nak. Sini, duduk samping Mamah," ujarnya lagi, mengusap tempat kosong di sebelahnya.

Keegan mendengus pelan. "Gimana aku mau cerita, Mah? Mamah aja selalu sibuk di luaran sana. Mah, Papah sakit loh, dia butuh support Mamah," ujar Keegan dengan nada yang mulai bergetar, mencoba menahan amarahnya.

Maya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Papah kamu pasti sembuh, Keegan."

Keegan menggeleng dengan tegas, matanya berkaca-kaca. "Papah tuh sakit kanker udah stadium akhir, Mah. Dokter bilang umur Papah nggak akan lama. Setidaknya Mamah support Papah di masa akhirnya, jangan bikin Papah makin sedih liat Mamah setiap hari kayak gini."

Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Keegan menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Keegan mau bersih-bersih, terus mau ke rumah sakit nemenin Papah," ujarnya lirih, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Maya terdiam di tempatnya, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia menyadari bahwa bukan hanya suaminya yang butuh dukungan, tetapi juga putranya. Dengan berat hati, ia menyesap teh di cangkirnya, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada di depan matanya.

---

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Leonel berjalan pelan menuju kamar Ranya, mengetuk pintu dengan lembut sebelum membukanya. "Kak, aku masuk ya?" katanya dari balik pintu.

"Masuk aja," jawab Ranya dari dalam.

Leonel membuka pintu dan masuk, melihat kakaknya duduk di tepi tempat tidur dengan wajah yang tampak lebih segar setelah membersihkan diri. "Kak, mau cerita apa?" tanyanya, duduk di sebelah Ranya dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.

"Keegan," jawab Ranya.

"Orang yang tadi siang mukul Leo?" tanya Leonel berusaha mengingat wajah Keegan. Ranya mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa dia?"

"Dia kakaknya Hanif, dan ternyata Hanif meninggal karena kecelakaan, koma tiga hari, dia bohong ke kakak, dia bukan sakit biasa," ujar Ranya.

"Yang bener, Kak?"

Ranya mengangguk, wajahnya tampak serius. "Iya, Leonel. Keegan sebenarnya sangat terpukul karena kehilangan neneknya,setelah itu dia kehilangan Hanif sampai harus berhenti sekolah sementara. Dia nggak tahu harus menghadapi rasa sedihnya bagaimana,apalagi sekarang papahnya dia lagi sakit parah,ibunya jalang di luaran sana."

Leonel terdiam sejenak, merenungkan kata-kata kakaknya. "Apa mungkin tadi siang dia mukulin aku karena pengen nglampiasin semuanya?"

"Ngga deh kayaknya, alasan dia mukul kamu karena dia ngga suka aku deket sama cowok lain, kamu tau dek? Hanif nitipin kakak ke Keegan, dan sebelum sebelumnya Keegan selalu mantau kakak dari akun instagram kakak lewat story story yang kakak buat, Hanif minta Keegan buat gantiin posisi dia. Mungkin itu permasalahannya."

"kakak yakin mau sama dia?"

"ngga tau"

"Bunda belum pulang?" tanya Ranya setelah diam beberapa detik.

"Udah, tapi sebelum kakak datang, Bunda berangkat lagi, soalnya pasien Bunda mendadak kritis," ujar Leonel.

"kalau Ayah?"

"Ayah nganterin Bunda," jawab Leonel.

Di tengah keheningan malam, suara dering handphone tiba-tiba memecah kesunyian. Layar yang sebelumnya gelap kini menyala, memperlihatkan nama 'Ranya's Mom'. Ranya dan Leonel, yang sedang duduk di atas tempat tidurnya, terkejut dan segera meraih ponsel di meja sampingnya dan langsung menggeser tombol hijau.

"Kenapa, Bun?"

"Sayang, bisa ke sini nggak? Tolong bawain tas Bunda yang ada di atas meja rias Bunda, ya."

"Oke, Bun, Ranya sama Leo ke sana sekarang."

Ranya mematikan sambungan teleponnya. "Kenapa?" tanya Leonel merasa penasaran.

"Disuruh nganterin tas Bunda. Ayo cepat."


Ranya dan Leonel segera bergegas keluar rumah, membawa tas yang diminta oleh Laura,ibunda Ranya dan Leonel. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hati Ranya tiba tiba tak tenang, memikirkan kondisi pasien kritis yang dirawat oleh Bundanya. Ketika mereka tiba di rumah sakit, suasana rumah sakit tampak tegang dan sunyi, seolah semua orang sedang menunggu kabar yang sama.

Mereka langsung menuju ruangan Laura di lantai tiga. Begitu pintu lift terbuka, mereka tidak melihat Laura, hanya ada Veenstra yang tengah duduk di kursi kerja Laura sambil memainkan handphonenya.

"Bunda mana, yah?" tanya Leonel.

"Bunda masih menangani pasiennya, katanya si kondisinya semakin kritis" ujar Veenstra.

"ini tas bunda" ujar Ranya memberikan tas titipan Laura.

"Mau langsung pulang lagi?" tanya Veenstra.

"Iya, disini bau obat" ujar Leonel.

"namanya juga rumah sakit"

"Yaudah yah, kita pulang"

"Hati hati, jangan ngebut ngebut dek" ujar Veenstra memperingati Leonel.

"Iya, Ayah".

Mereka keluar dari ruangan Laura, dan turun ke lantai satu menggunakan lift, begitu pintu lift terbuka, mereka melihat Bundanya sedang berdiri di depan ruangan dengan wajah yang tampak cemas. Ranya mempercepat langkahnya, diikuti oleh Leonel yang tak kalah khawatir.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang