Part 34

34 3 0
                                    

Di bangku yang mulai berkarat, di sebuah taman kota yang mulai sepi karena senja menjelang, Keegan dan Shasa duduk berdua, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Shasa melirik ke arah Keegan dengan penuh penyesalan. Bibirnya gemetar sebelum akhirnya kata-kata yang telah ia simpan lama terucap. "Keegan, maaf," ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin sore yang mulai dingin.

Keegan tetap menatap lurus ke depan, suaranya datar dan tegas, "Jelasin." Dia tidak menoleh, namun sorot matanya seolah menembus segala alasan yang Shasa mungkin coba sampaikan.

Shasa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. "Gue pindah karena bokap gue bangkrut. Kita terpaksa jual rumah, dan pindah ke rumah nenek di Bogor," suaranya terputus-putus, namun Shasa mencoba tetap tenang.

"Kenapa nggak ngabarin?" tanya Keegan, nadanya datar tapi ada kekecewaan yang tidak bisa ia sembunyikan.

"HP gue rusak," jawab Shasa, namun Keegan memotongnya dengan sarkasme yang tajam, "Alasan."

Shasa terdiam, kata-katanya tertahan di tenggorokan. Keegan akhirnya menoleh, menatap Shasa dengan mata yang penuh luka dan amarah yang tertahan. "Pas gue hubungin, nomor lo masih aktif. Bahkan di hari ketiga gue coba hubungin pun masih berdering. Tapi kenapa nomor gue lo blokir? Gue hubungin pake nomor lain, nomor lo udah nggak aktif lagi. Lo ganti nomor kan? Mau alasan apalagi?" Suara Keegan mulai bergetar, dan matanya memerah, menahan air mata yang ingin tumpah. Ia masih ingat betapa sakitnya ketika pertama kali ia kehilangan kontak dengan Shasa, masih teringat jelas saat dia menunggu berjam-jam di depan gerbang rumah Shasa, berharap gadis itu kembali lagi ke rumahnya. Namun ternyata itu semua hanya angan belaka. Shasa tidak kembali dan meninggalkannya begitu saja.

Shasa berusaha meraih lengan Keegan, sentuhannya lembut namun terasa hampa. "Keegan, sumpah, HP gue rusak saat itu. Bokap gue marah besar waktu tau lo masih berusaha hubungin gue. Lo tau kan kalau orang tua gue nggak suka gue deket sama lo. Gue nggak ganti nomor, Gan." Shasa berusaha meyakinkan, dan perlahan-lahan, emosi Keegan mulai mereda.

"Maaf," ucap Shasa lagi, suaranya mulai pecah.

Keegan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Gue maafin lo. Tapi bukan berarti gue mau balik kaya dulu lagi."

Shasa tersenyum pahit, "Kita masih bisa berteman baik, kan?" tanyanya, penuh harap.

Keegan mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terselubung keraguan. Dia menarik Shasa ke dalam pelukan, aroma rambut Shasa yang dulu begitu familiar kini terasa seperti nostalgia yang menyakitkan. Dalam keheningan itu, entah bagaimana, hatinya kembali luluh.

"Ya... Gue kangen. Please, jangan pergi lagi," ucap Keegan lirih, sebuah pernyataan yang secara tidak langsung memberikan Shasa harapan untuk memperbaiki hubungan mereka.

Namun, di sisi lain, di kamar yang sepi dan sunyi, Ranya duduk di sudut tempat tidur, ponselnya tergeletak di pangkuan. Berkali-kali dia membuka aplikasi pesan, berharap ada notifikasi baru dari Keegan. Namun, setiap kali layar itu menyala, yang dia temukan hanyalah kekecewaan. Tidak ada pesan masuk, tidak ada panggilan tak terjawab. Keegan tidak menghubunginya. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang mendadak terasa menyakitkan di dadanya.

Dia tertawa kecil, namun tawa itu tidak sampai ke matanya. Senyum pahit terukir di wajahnya saat dia menatap layar ponsel yang kembali gelap. "Konyol," pikirnya. Dia ingin menertawakan dirinya sendiri, mengapa dia masih berharap Keegan akan peduli? Bukankah semua ini sudah cukup menjadi jawaban? Kalau saja Keegan peduli, dia pasti sudah menelepon atau setidaknya mengirimkan pesan singkat untuk menjelaskan. Lalu kemarin itu apa? apakah hanya drama yang sengaja Keegan buat.

Dengan jari yang gemetar, Ranya kembali membuka aplikasi pesan itu, seolah berharap ada keajaiban yang terjadi di detik terakhir. Namun tetap saja, tidak ada yang berubah. Keheningan dari Keegan semakin membuat perasaannya membeku. Dia bisa merasakan dingin yang merayap ke seluruh tubuhnya, hingga ke tulang. Dan keheningan itu berbicara lebih keras dari kata-kata manapun.

Ponsel itu akhirnya diletakkan di sampingnya, tapi pikirannya tetap berkutat pada satu hal. "Kenapa dia ngga ngejelasin apa-apa?" Hatinya meronta, mencari jawaban yang mungkin tidak pernah akan ia dapatkan. Ranya mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin Keegan sedang sibuk, atau mungkin Keegan hanya butuh waktu. Tapi alasan itu terdengar semakin lemah setiap kali ia mengulanginya dalam pikirannya.

Setiap detik yang berlalu tanpa pesan dari Keegan membuatnya semakin merasa konyol. “Mungkin selama ini gue cuma pelampiasan,” pikirnya lagi, kali ini dengan kepedihan yang lebih dalam. Tapi meski hatinya mengatakan hal itu, bagian lain dari dirinya masih ingin percaya bahwa ada penjelasan yang logis untuk semua ini.

Ketika ponselnya tetap sunyi, Ranya memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di antara kedua tangan. "Gue benar-benar bodoh," bisiknya kepada dirinya sendiri. Dia merasa terjebak dalam lingkaran rasa sakit yang tak berujung, di mana setiap harapan yang ia pegang justru menjadi racun yang semakin melemahkannya.

Di tengah-tengah kesendiriannya itu, Ranya tahu bahwa ia harus menerima kenyataan. Bahwa mungkin, Keegan tidak akan pernah menghubunginya, tidak akan pernah memberikan penjelasan. Dan menerima hal itu adalah hal yang paling sulit baginya. Tetapi, meskipun sulit, Ranya tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain selain melanjutkan hidupnya, tanpa harapan yang menyiksa ini.

Ranya menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang terus berputar-putar. Dia harus berhenti memeriksa ponsel, berhenti berharap. Karena yang tersisa sekarang hanyalah dirinya sendiri, dan dia harus belajar untuk menerima itu. Dengan langkah kecil tapi pasti, Ranya berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya, sedikit demi sedikit. Karena, pada akhirnya, dia tahu hanya dia yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri.

Ranya terbaring lemah. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, namun di dalam hatinya, badai sedang mengamuk. Teringat jelas suara motor yang semakin menjauh membuat dadanya sesak, apalagi saat ia melihat Keegan membonceng Shasa tanpa sedikit pun menjelaskan apa yang terjadi. Hatinya hancur berkeping-keping, tapi dia terlalu lelah untuk menangis lagi.

Ranya adalah gadis yang kuat, atau setidaknya itulah yang selalu dia coba tunjukkan. Dengan senyum yang dipaksakan, dia menyembunyikan segala perasaan dari Laura dan Leonel. Dia tidak ingin mereka tahu betapa dalam luka yang Keegan goreskan di hatinya. Mereka berhak untuk tidak terbebani oleh masalahnya, begitu pikir Ranya. Sementara Veenstra, Dia sedang di luar kota, dua minggu lamanya, menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

Malam semakin larut. Air mata yang sempat tertahan akhirnya jatuh tanpa henti, membasahi bantal di sampingnya. Ranya memeluk dirinya sendiri, berharap dapat menahan rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia merasa rapuh, seolah-olah semua kekuatannya menghilang. Hatinya bertanya-tanya, apakah dirinya hanyalah pelampiasan Keegan selama ini? Apakah cinta yang mereka bagi hanya sementara, sementara di sisi lain, Shasa masih memiliki tempat spesial di hati Keegan tanpa Ranya ketahui.

Kepala Ranya terasa berat, tapi lebih berat lagi adalah perasaan dikhianati yang terus menghantuinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa orang yang dia percayai sepenuh hati bisa membuatnya merasa seolah-olah dia tidak pernah berarti apa-apa. Tetapi di tengah semua itu, Ranya tetap diam, tetap menjaga semua rasa sakit ini untuk dirinya sendiri.

Hanya langit-langit kamar yang menjadi saksi bisu tangisannya malam itu. Satu-satunya pelipur lara hanyalah keyakinannya bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan jalan keluar dari rasa sakit ini. Dan saat itu tiba, dia tidak akan lagi merasakan luka yang begitu mendalam. Tetapi untuk saat ini, Ranya hanya bisa meringkuk di tempat tidur, memeluk dirinya erat, dan berharap esok hari akan sedikit lebih baik.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang