Part 37

19 2 0
                                    

Malam itu, suasana rumah Keegan tenang, hanya terdengar suara televisi dari ruang keluarga di mana Maya, ibunya, sedang menonton acara favoritnya. Keegan sendiri duduk di ruang tamu, membaca buku untuk menghabiskan waktu. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika bel rumah berbunyi nyaring.

Keegan mengernyit, tidak menyangka ada tamu di malam hari. Dengan sedikit ragu, dia bangkit dari kursinya dan menuju pintu depan. Maya, yang mendengar bel itu juga, menoleh ke arah Keegan dan bertanya, “Siapa yang datang malam-malam begini, Nak?”

Keegan hanya mengangkat bahu, merasa bingung. "Aku juga nggak tau, Ma. Biar aku yang lihat," jawabnya sambil membuka pintu.

Ketika pintu terbuka, Keegan terkejut melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya. Shasa, dengan bibir yang tersenyum, berdiri di sana.

“Shasa?mau ngapain malem malem kesini?” tanya Keegan dengan nada datar.

Shasa tersenyum. “Keegan, gue... boleh gue bicara sama kamu sebentar?”

Keegan menatap Shasa dengan penuh pertimbangan. Dia tidak ingin ada masalah lagi yang timbul dari kehadiran Shasa, terutama jika ini menyangkut hubungannya dengan Ranya. Namun, melihat Shasa yang tampak begitu serius, Keegan akhirnya mengangguk.

“Bicara di sini aja. Kita duduk di teras,” ujar Keegan singkat, tidak mengizinkan Shasa masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin Maya mengetahui apa pun yang mungkin akan diucapkan Shasa.

Mereka berdua duduk di kursi teras, suasana terasa dingin dan canggung. Keegan menunggu Shasa memulai pembicaraan, sementara Shasa tampak ragu dan sesekali menggigit bibirnya, tanda bahwa dia sedang berusaha keras untuk menyusun kata-kata yang tepat.

“Keegan...” Shasa akhirnya mulai berbicara dengan suara pelan dan gemetar. “Gue tahu ini mungkin nggak tepat, tapi gue harus bilang... Gue nggak bisa bohong lagi sama perasaan gue sendiri.”

Keegan mengerutkan alis, merasa ada sesuatu yang sangat serius akan diungkapkan Shasa. Namun, dia tetap menjaga ekspresinya netral, tidak ingin menunjukkan bahwa dia terpengaruh.

“Gue masih cinta sama lo, Keegan,” ucap Shasa akhirnya, suara itu terputus-putus di antara isakan yang mulai mengalir dari matanya. “Gue tahu gue salah di masa lalu. Gue tahu gue ninggalin lo saat lo masih butuh gue. Tapi gue nyesal, Gan."

Shasa menatap Keegan dengan tatapan memohon, berharap bahwa apa yang dia katakan akan mengubah segalanya. “Gue datang ke sini karena gue nggak bisa berpura-pura lagi. Gue nggak bisa melihat lo sama orang lain. Gue masih cinta sama lo, Keegan.”

Keegan menunduk sejenak, merasa hatinya terasa berat. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Shasa kembali, matanya kini penuh dengan kejujuran yang dingin namun tegas.

“Sha, Gue udah maafin lo,” Keegan mulai berbicara dengan suara yang lebih tenang. “Tapi, maaf, gue nggak bisa memberikan peluang lagi buat lo jadi pacar gue.”

Shasa terkejut, rasa sakit tampak jelas di wajahnya. “Tapi... Kenapa, Keegan? Gue masih cinta sama lo. Kita bisa mulai dari awal lagi, kita bisa...”

Keegan menggelengkan kepalanya, menghentikan Shasa sebelum dia melanjutkan. “Nggak, Shasa. Ini bukan tentang mulai dari awal atau memaafkan masa lalu. Ini tentang perasaan gue yang sekarang. Gue sayang sama Ranya, dan dia yang gue pilih untuk masa depan gue.”

Shasa menatap Keegan dengan mata yang penuh air mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Keegan, tolong... Jangan tinggalin gue lagi...”

"Lagi? bukannya lo yang ninggalin gue duluan?" sarkas Keegan.

“Gue fikir, gue ngga pernah nyesel si kenapa dulu kita ngga pacaran,karena sekarang gue bisa menetapkan hati gue buat Ranya. Dan lo harus Terima itu,” kata Keegan dengan tegas, mencoba menjaga nadanya tetap tenang meskipun dia bisa merasakan sakit yang terpancar dari Shasa.

"Gue tau Ranya janji buat bantuin lo dekat sama gue lagi. Tapi maaf, gue ngga rela pacar gue ngorbanin perasaannya demi wanita yang ngga punya hati kaya lo" ujar Keegan lagi.

Shasa terisak, hatinya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata Keegan. Dia merasa dunianya runtuh di depan matanya, harapannya pupus begitu saja. Dalam keputusasaan, Shasa berdiri dan tanpa kata-kata lagi, dia berbalik menuju mobilnya.

Keegan hanya bisa melihat Shasa pergi dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena dia telah jujur dengan perasaannya, namun juga ada rasa bersalah karena telah membuat Shasa terluka begitu dalam.

Ketika Shasa sudah tak terlihat, Keegan menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu ini adalah keputusan yang tepat, tapi tak bisa menghindari rasa sakit yang tetap tersisa di hatinya.

Beberapa menit berlalu, dan Maya keluar dari rumah, mendekati Keegan dengan wajah cemas. “Siapa tadi yang datang, Sayang?” tanyanya.

“Shasa, Ma. Dia cuma... mau bicara,” jawab Keegan dengan suara pelan.

Maya bisa melihat ada sesuatu yang berat di benak anaknya, tapi dia memutuskan untuk tidak mendesaknya lebih jauh. “Kamu baik-baik aja?”

Keegan mengangguk, meskipun Maya bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Aku baik-baik aja, Ma. Cuma... butuh waktu buat tenang.”

Maya mengangguk paham, lalu menepuk bahu Keegan dengan lembut. “Kalau ada apa-apa, Mama selalu di sini, ya.”

Keegan hanya tersenyum tipis, lalu melihat ke arah jalan di mana Shasa tadi pergi. Sesuatu di dalam dirinya terasa tak tenang, seperti ada firasat buruk yang menggantung di udara.

Beberapa saat kemudian, ponsel Keegan bergetar di sakunya. Dia mengeluarkannya dan melihat bahwa itu adalah panggilan dari Jeff. Dengan sedikit rasa enggan, dia menjawabnya.

“Kenapa? tumben nelfon” tanya Keegan, suaranya lelah.

Dari seberang telepon, suara Jeff terdengar panik dan tergesa-gesa. “Keegan, lo harus ke sini sekarang! Shasa... Shasa kecelakaan di pertigaan jalan...”

Keegan kaget, ternyata firasatnya benar. “Apa? Jeff, lo nggak bercanda, kan?”

“Gue serius, Keegan! Shasa... dia...” suara Jeff terdengar semakin gemetar, seolah kesulitan untuk melanjutkan.

Keegan merasa dunia di sekitarnya berputar, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya. “Di mana? Gue kesana sekarang ya!”

Jeff menyebutkan lokasi kecelakaan itu, dan tanpa berpikir panjang, Keegan langsung berlari menuju mobilnya. Maya yang melihat putranya berlari dengan wajah pucat segera mengejarnya, namun Keegan sudah terlalu cepat masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan penuh menuju tempat yang disebutkan Jeff.

Sesampainya di sana, Keegan mendapati tempat kejadian sudah dipenuhi dengan mobil polisi dan ambulans. Jantungnya berdebar kencang saat melihat sebuah mobil yang hancur berantakan di tengah jalan. Dia segera keluar dari mobil dan berlari ke arah kerumunan orang yang melihat kejadian itu.

Jeff dan beberapa teman lain sudah berada di sana, wajah mereka terlihat pucat dan ketakutan. Ketika melihat Keegan datang, Jeff segera menghampirinya dengan tatapan penuh duka.

“Keegan... Shasa... dia nggak selamat...” ucap Jeff dengan suara bergetar, matanya mulai berair.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang