Part 42

40 5 0
                                    

Hari kelulusan akhirnya tiba, hari yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Keegan, Ranya, Jevi, Tanra, Jeff, Kyle, dan Clara. Setelah tiga tahun penuh perjuangan, tawa, air mata, dan kebersamaan, mereka akhirnya mencapai akhir dari perjalanan sekolah menengah mereka. Hari ini adalah hari yang penuh dengan emosi campur aduk—kebanggaan, kebahagiaan, dan sedikit rasa takut akan masa depan yang tidak pasti.

Pagi itu, langit cerah tanpa awan sedikit pun, seolah menyambut hari istimewa ini. Semua siswa berkumpul di aula besar yang dihias dengan indah, warna-warna cerah memenuhi setiap sudut ruangan. Panggung utama dihiasi dengan bunga-bunga segar dan tirai berwarna emas, menciptakan suasana yang khidmat namun hangat.

Ranya berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun kelulusan putih yang sederhana namun elegan. Ia menghela napas panjang, merasa tidak percaya bahwa hari ini akhirnya tiba. "Hari ini terakhir kali kita memakai seragam sekolah," katanya pelan kepada dirinya sendiri, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengingat semua momen bersama teman-temannya—tawa mereka, kebodohan kecil yang mereka lakukan, dan saat-saat mereka saling mendukung dalam kesulitan.

Sementara itu, Keegan yang biasanya terlihat cuek, kali ini merasakan sesuatu yang berbeda. Berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam dengan rapi, dia mengamati dirinya sendiri. "Ini akhir dari satu bab, dan awal dari yang baru," gumamnya. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah setelah hari ini, dan dia tak yakin bagaimana rasanya tanpa rutinitas sekolah yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

Jevi, Tanra, Jeff, Kyle, dan Clara juga merasakan hal yang sama. Mereka bertemu di gerbang sekolah, saling melempar senyum penuh makna, tetapi di balik senyuman itu, ada perasaan enggan untuk mengakhiri semua ini. "Kalian siap?" tanya Clara dengan suara sedikit bergetar. Mereka semua mengangguk, meskipun hati mereka berkata lain.

"Nanti gue kangen banget sama kalian" ujar Ranya.

Kyle tertaww, "jangan bohong lo, Ra. Gue si yang bakalan kangen banget, lo selalu jadi penengah" ujar Kyle.

"Javi yang bijak ini nanti kehilangan kyle sama Clara yang selalu crewet" ujar Jevi berusaha mendalami.

"cuih alay. Yang ada lo tuh, cerewetnya ngelebihin gue" ujar Clara.

Mereka semua tersenyum, meskipun mata mereka berkaca-kaca, dan mereka tahu bahwa meskipun hari ini penuh tawa, perasaan sedih di hati mereka adalah bukti betapa berharganya persahabatan yang telah mereka bangun selama ini.

Upacara kelulusan dimulai dengan pidato kepala sekolah, yang mengingatkan kembali pada perjalanan mereka selama tiga tahun terakhir. "Hari ini kalian bukan hanya lulus dari sekolah, tapi juga lulus dari segala tantangan, persahabatan, dan pengalaman yang telah membentuk kalian menjadi seperti sekarang," ucap kepala sekolah dengan penuh kebanggaan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya menyentuh hati semua yang hadir.

Satu per satu, nama siswa dipanggil untuk menerima ijazah. Saat nama Ranya disebut, dia berjalan ke panggung dengan kepala tegak, meskipun hatinya berdebar kencang. Saat dia menerima ijazahnya, ada perasaan bangga yang mengalir di dalam dirinya. "Ini bukan hanya untukku, tapi juga untuk keluargaku, teman-temanku, dan semua orang yang mendukungku," pikirnya.

Keegan mengikuti setelah Ranya, dengan langkah yang mantap. Ketika dia menerima ijazahnya, dia merasakan beban tanggung jawab yang baru. Dia tahu bahwa setelah ini, akan ada dunia yang lebih besar menunggunya, dengan tantangan yang berbeda.

Setelah semua ijazah dibagikan, seluruh siswa berdiri bersama untuk melantunkan lagu perpisahan. Suara mereka bergema di seluruh aula, mengisi setiap sudut dengan melodi yang penuh emosi. Air mata mulai mengalir di pipi beberapa siswa, termasuk Ranya, yang tidak bisa menahan perasaannya lagi. Dia melihat ke arah teman-temannya, dan menyadari bahwa mereka semua merasakan hal yang sama.

Setelah upacara berakhir, mereka semua berkumpul di halaman sekolah, tempat yang penuh kenangan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling berbagi cerita tentang masa lalu, seolah-olah mencoba menunda perpisahan yang tak terelakkan. "Kita harus tetap bersama, tidak peduli seberapa jauh kita pergi," ujar Kyle dengan nada serius. Mereka semua setuju, meskipun dalam hati mereka tahu bahwa itu tidak akan mudah.

Keegan mendekat dengan langkah mantap. Dia mengenakan celana hitam dan kemeja putih yang terbalut jas hitam, tetapi dengan raut wajah yang sedikit murung. Tanpa bicara, dia berdiri di samping Ranya, ikut menatap langit.

Ranya menghela napas panjang. "Akhirnya kita lulus juga, ya... Gak nyangka, semuanya berakhir begitu cepat."

Keegan menatap Ranya sebentar, lalu kembali melihat ke langit "Iya, cepat banget. Rasanya baru kemarin kita pertama kali ketemu di sini."

Ranya tersenyum tipis "Dan lihat sekarang... kita udah jadi alumni. Tapi jujur, aku takut. Gimana nanti kalau kita jarang ketemu?"

Keegan mengalihkan pandangan dari langit ke wajah Ranya, ada sedikit kerutan di keningnya "Kamu takut jarang ketemu aku?"

Ranya tertawa pelan, meskipun sedikit gugup "Iya, aku kan nanti kuliah di luar kota. Kamu sendiri gimana? jadi kuliah atau nerusin perusahaan papah kamu?"

Keegan menyandarkan punggungnya ke pohon, menatap Ranya dengan serius "Aku nerusin perusahaan Papah. Mungkin nanti kita nggak bisa sering ketemu kayak dulu. Tapi itu bukan berarti kita akan lupa satu sama lain, kan?"

Ranya mengangguk pelan, tetapi ada sedikit keraguan di matanya "Iya, kamu nanti ngga selingkuh kan?" tanya Ranya.

Keegan tertawa menatap Ranya lebih dalam, lalu dengan suara yang lebih lembut,tangannya menangkup pipi Ranya, "Sayangku, ngga usah khawatir yaa, setelah aku berhasil nerusin perusahaan papah, aku nanti dateng ke rumah kamu. Aku lamar kamu oke" ujar Keegan menenangkan Ranya.

Ranya menyeka air mata yang mulai menggenang di sudut matanya "Aku cuma takut, Keegan... Kalau kita jadi asing satu sama lain."

Keeganbmenggenggam tangan Ranya dengan lembut, memberikan sedikit tekanan "Kita nggak akan pernah jadi asing, Sayang. Kamu adalah bagian dari hidupku yang nggak akan pernah bisa tergantikan. Apapun yang terjadi, kamu selalu punya tempat di hati aku."

Ranya tersenyum di tengah tangisnya, merasa lega mendengar kata-kata Keegan* "Kamu bener kan. Kita harus tetap percaya, ya?"

Keegan mengangguk mantap, sambil tersenyum "Iya, harus saling percaya ya."

Keegan mengusap lembut punggung tangan Ranya, lalu berkata dengan suara penuh keyakinan "sampai saat itu tiba, jangan pernah ragu, ya. Aku selalu ada di sini untuk kamu." Ranya mengangguk lagi.

Mereka berdua saling menatap, penuh dengan perasaan yang tak terucap. Di tengah-tengah keramaian hari kelulusan, mereka menemukan ketenangan dan keyakinan di dalam diri satu sama lain. Kelulusan mungkin menandai akhir dari satu babak dalam hidup mereka, tetapi juga menjadi awal dari petualangan baru yang akan mereka jalani bersama, meskipun jarak dan waktu mungkin akan menguji mereka.

Sore itu, mereka pergi ke tempat favorit mereka, sebuah kafe kecil di dekat sekolah yang sering mereka kunjungi untuk menghabiskan waktu bersama. Di sana, mereka menghabiskan beberapa jam terakhir mereka sebagai siswa sekolah menengah dengan tawa, bercanda, dan berbagi impian tentang masa depan. Mereka tahu bahwa ini mungkin kali terakhir mereka berkumpul seperti ini, tapi mereka berjanji untuk tetap menjaga persahabatan mereka.

Ketika matahari mulai terbenam, memberikan semburat oranye di langit, mereka berjalan pulang bersama-sama, seperti yang selalu mereka lakukan selama tiga tahun terakhir. Namun kali ini, langkah mereka terasa lebih berat. Mereka tahu bahwa setelah hari ini, mereka akan menempuh jalan yang berbeda, mengejar mimpi masing-masing.

"Ini bukan akhir," kata Tanra, mencoba menghibur semua orang. "Ini hanya awal dari perjalanan yang lebih besar." Semua orang mengangguk, meskipun air mata masih menetes di pipi mereka.

Malam itu, mereka semua kembali ke rumah masing-masing, merasakan keheningan yang aneh. Ranya duduk di kamarnya, memandang ijazahnya dengan perasaan campur aduk. "Aku akan merindukan semua ini," katanya pada dirinya sendiri.

Keegan, di sisi lain, membuka jendela kamarnya dan memandang bintang-bintang. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan melupakan hari ini," katanya dengan tegas.

Dan begitu, hari kelulusan mereka berakhir, meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Mereka tahu bahwa hidup mereka akan berubah, tetapi satu hal yang pasti, persahabatan mereka akan tetap abadi, melampaui segala perubahan yang akan datang.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang