Part 49. Pregnant🤰

69 3 0
                                    

Beberapa bulan setelah bulan madu mereka di Los Angeles, Keegan dan Ranya menjalani kehidupan pernikahan yang penuh kebahagiaan. Namun, kebahagiaan mereka semakin lengkap ketika Ranya menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan tubuhnya. Pagi itu, Ranya mulai merasa mual dan tidak nyaman, tetapi dia tidak terlalu memikirkannya. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk melakukan tes kehamilan di kamar mandi, dan saat melihat hasilnya, dia terdiam.

Ranya berjalan perlahan keluar kamar mandi dengan wajah penuh haru, membawa hasil tes kehamilan yang positif di tangannya. Dia menghampiri Keegan yang sedang duduk di ruang tamu, sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa berkata apa-apa, Ranya menyerahkan hasil tes itu ke Keegan. "Keegan..." suaranya bergetar, hampir menangis.

Keegan menatap Ranya dengan bingung, lalu melihat ke alat tes di tangannya. Matanya membelalak ketika melihat dua garis merah yang jelas terlihat. "Sayang... Kamu hamil?" tanyanya, suara Keegan juga terdengar tak percaya.

Ranya hanya mengangguk, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Keegan langsung bangkit dari tempat duduknya, memeluk Ranya erat. "Hah? demi apa sih? aku mau jadi Papah!" Keegan berjongkok dan mencium perut ranya yang belum terlihat.

Ranya tertawa bahagia di tengah air matanya. "Iya, Keegan, kita bakal punya bayi!" Mereka berdua tersenyum lebar, saling memandang dengan cinta yang begitu mendalam. Keegan menurunkan Ranya perlahan dan mencium keningnya dengan lembut.

"Aku pasti jadi Papah yang keren," kata Keegan dengan nada bercanda tapi penuh keyakinan. Ranya hanya tertawa kecil dan mengangguk, merasakan begitu banyak cinta dari Keegan.

Hari-hari berikutnya, kehamilan Ranya membuatnya menjadi semakin manja dan sensitif. Keegan yang awalnya terbiasa dengan Ranya yang mandiri, kini harus menghadapi sisi lain dari istrinya yang sedang hamil. Suatu malam, saat mereka sedang menonton film di rumah, Ranya tiba-tiba merajuk.

"Keegan, Aku pengen makan es krim rasa strawberry deh," kata Ranya sambil memandang Keegan dengan tatapan memelas. Keegan menatap Ranya dengan heran. "Sekarang? Ini udah jam 11 malam, Ra," jawabnya sambil tertawa kecil.

Tapi Ranya tidak tertawa. "Please, Keegan. Aku pengen banget," suaranya terdengar hampir menangis. Melihat wajah Ranya yang mulai berkaca-kaca, Keegan langsung bangkit dari sofa. "Oke, oke, Aku keluar cari es krim strawberry buat kamu. Jangan nangis, ya."

Ranya tersenyum lebar dan mengangguk. "Thank you, Sayang! Baik banget suami aku" Keegan hanya bisa tersenyum kecil, meski di dalam hatinya dia bertanya-tanya di mana dia bisa menemukan es krim stroberi jam segini.

Keegan akhirnya berhasil menemukan toko kecil yang masih buka dan membeli es krim strawberry untuk Ranya. Ketika dia kembali, Ranya sudah menunggunya di ruang tamu dengan tatapan penuh harap. "Kamu dapet es krimnya?" tanyanya penuh semangat.

Keegan mengangkat kantong belanjaan yang dia bawa. "Jelas dong. Ini es krim strawberry permintaan kamu," katanya sambil menyerahkan es krim itu ke Ranya. Ranya memeluk Keegan erat sebelum akhirnya membuka es krim itu dengan antusias. "Adik bayi pasti bangga punya papah yang baik." katanya sambil tersenyum lebar.

Hari-hari berikutnya, Ranya semakin sering meminta hal-hal yang aneh. Suatu hari, dia tiba-tiba ingin makan nasi padang di pagi hari. "Keegan, Aku pengen nasi padang," katanya saat mereka baru saja bangun tidur.

Keegan, yang masih setengah mengantuk, menatap Ranya dengan bingung. "Pagi-pagi begini? Serius kamu?"

Ranya mengangguk dengan tegas. "Iya, aku beneran pengen sekarang. Kamu nggak mau kan kalau anak kita nanti ngiler gara-gara papahnya ngga beliin nasi padang?" Ranya berkata dengan nada menggemaskan, yang membuat Keegan tak kuasa menolak.

Keegan tertawa kecil dan mengusap perut Ranya dengan sayang. "Oke, Aku bakal cari nasi padang buat kamu dan adik bayi," jawabnya dengan penuh kasih.

Tapi bukan hanya soal makanan, kepekaan emosi Ranya juga meningkat drastis. Suatu malam, ketika mereka sedang berbicara tentang masa depan anak mereka, Ranya tiba-tiba merasa cemas. "Keegan, kamu yakin kita bisa jadi orang tua yang baik? Aku takut banget," katanya sambil menggenggam tangan Keegan erat.

Keegan menatap Ranya dengan penuh kelembutan. "Ra, kamu bakal jadi ibu yang luar biasa. Aku yakin itu. Kita bakal belajar bareng-bareng, dan kita punya satu sama lain. Jadi kamu nggak perlu takut, oke?" Ranya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

"Selama ada kamu, aku yakin semuanya bakal baik-baik aja," katanya dengan suara yang lebih tenang. Keegan mengusap pipi Ranya dengan sayang, lalu mengecup keningnya.

Namun, ada juga saat-saat di mana Ranya benar-benar sensitif tanpa alasan yang jelas. Seperti ketika Keegan terlambat pulang karena rapat di kantornya. Ranya menunggu di rumah dengan gelisah, dan begitu Keegan pulang, dia langsung menangis. "Kamu kenapa lama banget pulangnya, Keegan?" tanyanya dengan suara tersedu-sedu.

Keegan terkejut melihat Ranya menangis. "Maaf, Sayang. Rapatnya agak lama, tapi aku udah buru-buru pulang kok," jawabnya sambil memeluk Ranya. Tapi Ranya terus menangis, merasa sedih tanpa alasan yang jelas.

"Aku takut kamu nggak cinta sama aku lagi," kata Ranya sambil terisak. Keegan menatap Ranya dengan penuh kasih sayang, lalu mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

"Ra, kamu tau kan kalau aku cinta banget sama kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, apalagi sekarang kamu lagi hamil anak kita," kata Keegan dengan lembut. Perlahan, tangisan Ranya mereda, dan dia merasa lebih tenang dalam pelukan Keegan.

Malam itu, Keegan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Ranya, untuk memastikan dia merasa aman dan dicintai. Mereka berbicara hingga larut malam, membahas hal-hal kecil tentang masa depan mereka dan rencana untuk anak mereka. Keegan tak henti-hentinya meyakinkan Ranya bahwa dia akan selalu ada di sisinya, apapun yang terjadi.

Minggu-minggu berikutnya, Ranya mulai sering merasa lelah dan cepat emosional. Ada satu momen ketika mereka sedang bersiap-siap untuk pergi keluar, Ranya tiba-tiba merasa semua pakaiannya tidak ada yang cocok. "Keegan, aku nggak punya baju yang bagus! Semua baju aku nggak muat lagi!" katanya dengan frustrasi.

Keegan menatap Ranya yang hampir menangis, lalu dengan cepat merespons, "Ra, kamu tetep cantik pakai apapun. Aku yakin kamu bisa nemuin baju yang bikin kamu nyaman dan tetap keren."

Tapi Ranya menggelengkan kepala, merasa tidak percaya diri. "Aku beneran nggak tau harus pakai apa, Keegan. Aku merasa jelek, Aku gendut" katanya dengan suara yang pelan, nyaris seperti bisikan.

Keegan merangkul Ranya dan membawanya ke depan cermin. "Lihat nih. Kamu tetap terlihat cantik dan menawan di mata aku, apapun yang kamu pakai. Jangan pernah ragu soal itu," katanya sambil menatap Ranya melalui pantulan di cermin.

Mendengar kata-kata Keegan, Ranya mulai merasa lebih baik. Dia memilih baju dengan bantuan Keegan, dan meski masih ada rasa tidak percaya diri, dia tahu bahwa Keegan akan selalu mendukungnya. Ketika mereka keluar rumah, Ranya memegang tangan Keegan erat, merasa lebih tenang dengan adanya Keegan di sisinya.

Dalam setiap momen manja dan sensitif yang dialami Ranya di awal kehamilannya, Keegan selalu hadir untuk menenangkan dan memberikan dukungan tanpa syarat. Meski kadang Ranya merasa bersalah karena terlalu banyak menuntut perhatian, Keegan selalu meyakinkannya bahwa semua yang dia lakukan adalah karena cinta. "Kamu dan bayi kita adalah prioritas aku sekarang. Jadi jangan pernah merasa kamu ganggu aku atau apapun. Aku di sini buat kamu," kata Keegan suatu malam saat Ranya merasa tidak enak hati.

Ranya tersenyum dan mengangguk, merasa bersyukur memiliki suami seperti Keegan. Keegan hanya tersenyum dan mencium kening Ranya dengan sayang.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang