Di tengah-tengah rumah yang penuh dengan keceriaan dan kekacauan, Ranya dan Keegan menghadapi tantangan baru dalam hidup mereka. Anak-anak mereka, Kai dan Kian, yang kini berusia sekitar empat tahun, sering kali terlibat dalam pertengkaran kecil, terutama saat mereka berebut mainan. Hari itu, suasana di ruang tamu rumah mereka terasa lebih riuh dari biasanya, dengan teriakan dan tangisan yang bersahut-sahutan.
Ranya, yang sedang berada di dapur, mendengar keributan dan segera bergegas menuju ruang tamu. Dia melihat kedua anak mereka sedang bertengkar di atas karpet. Kai memegang mainan mobil kesayangannya, sementara Kian berusaha merebutnya dari tangannya.
“Kai, kasih Kian mainannya ya,” Ranya mencoba untuk menenangkan sambil berusaha melepas cengkraman tangan Kai dari lengan baju Kian.
“Enggak! Ini mobilku!” teriak Kai dengan penuh emosi.
“Kian mau main juga. Gantian oke, nanti Ayah beliin mainan baru buat Kai,” Ranya mencoba untuk berdialog, tapi tampaknya usahanya belum berhasil.
Keegan, yang baru saja pulang dari kantor, segera merespons situasi tersebut. Dia melangkah masuk ke ruang tamu dan melihat kedua anaknya terlibat dalam pertengkaran.
"Anak-anak ayah kenapa ini? kok pada nangis?" ujar Keegan sangat lembut. Keegan menggendong Kian dan membawanya ke sisi lain ruangan, sementara Ranya mencoba menenangkan Kai.
“Kai, coba kita bicarakan baik-baik. Kian juga mau main, karena mainannya ada satu, Kai mau yaa gantian sama Kian” Ranya berbicara dengan lembut sambil memangku Kai dan memeluknya.
“Kian selalu merebut mainanku, Bunda!” keluh Kai, masih dengan nada marah.
Keegan duduk di samping Ranya dan mengatur posisi Kian di pangkuannya, mengusap-usap punggungnya. “Kai, Ayah tahu kamu marah, tapi kita harus belajar berbagi. Mungkin Kian bosen sama mainan yang lain." ujar Keegan sangat lembut.
Ranya mengangguk setuju sambil menatap Kai dengan lembut. “Kai, ayah benar. Kalau kamu terus marah, nanti kita semua jadi sedih. Ayo, kasih mainan mobil itu ke Kian sebentar ya.”
Kai tampak ragu-ragu, tapi akhirnya menyerahkan mainan tersebut dengan enggan.
Keegan mengusap kepala Kai, "Pintar, nanti ayah ajak beli mainan baru mau?" tanya Keegan menghibur anaknya. Kai mengangguk dengan semangat.
Kian, yang sekarang mendapatkan mainan yang diinginkannya, tampak lebih tenang dan mulai bermain dengan senang hati. sementara Kai, dia bermain dengan mainan lain yang ia miliki.
Keegan lalu memandang Ranya dan memberikan senyuman penuh arti. “Kadang-kadang, mereka butuh belajar dari pengalaman. Tapi kita juga harus sabar,Sayang.”
“Benar,” kata Ranya sambil menghela napas lega. “Kadang rasanya melelahkan, tapi lihat mereka bahagia dan bisa main bareng adalah hal yang paling berharga.”
"Biarin mereka main sendiri dulu"
Ranya mengangguk setuju, merasa sedikit lebih baik setelah melihat Kai dan Kian bermain dengan lebih damai.
Keegan memeluk Ranya dengan lembut. “Terima kasih udah sabar dan selalu berusaha. Maaf aku ngga bisa di samping kamu setiap waktu”
Saat suasana di ruang tamu mulai tenang kembali, Ranya dan Keegan duduk berdampingan di sofa, menikmati momen-momen kecil yang penuh kebahagiaan dan kekacauan. Mereka saling memandang dengan senyum, merasa bersyukur atas keluarga mereka dan segala tantangan yang menyertainya.
“Awal-awal rasanya berat banget, tapi kita bisa melalui ini bersama,” kata Ranya dengan penuh keyakinan.
Keegan memegang tangan Ranya dengan erat. “Kita selalu bisa. Selama kita bersama, kita bisa menghadapi apapun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RANYA
Teen FictionRanya Aireena Veenstra adalah seorang gadis blasteran Indonesia-Belanda yang tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Ayahnya, Veenstra, memutuskan untuk menetap di Indonesia setelah menikahi Laura, seorang wanita Indonesia. Ranya, anak pertama dari...