Satu bulan berlalu sejak sore yang menyenangkan di rumah Tanra. Cedera lutut Keegan sudah membaik, dan dia kembali aktif dalam kegiatan olahraga, terutama basket, yang menjadi passion utamanya. Meskipun cedera sempat membuatnya ragu untuk melanjutkan aktifitasnya di dunia olahraga, kini dia merasa lebih optimis. Bahkan, dia baru saja mendapatkan tawaran untuk menjadi pelatih ekstrakurikuler basket di sekolahnya, melatih para junior kelas sepuluh yang baru bergabung beberapa minggu yang lalu.
Hari itu, Keegan berdiri di tengah lapangan basket sekolah dengan clipboard di tangan. Matahari bersinar cerah, membuat bayangan panjang di atas lapangan. Para siswa baru mulai berdatangan, sebagian besar tampak antusias untuk mengikuti latihan pertama mereka bersama Keegan. Di antara mereka, Keegan bisa melihat beberapa wajah yang familiar, tetapi sebagian besar adalah wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui.
"Oke, semuanya kumpul di tengah lapangan!"
Suara tegas Keegan memecah suasana, membuat para junior bergerak cepat menuju tengah lapangan. Dengan postur tubuhnya yang tegap dan aura yang kuat, Keegan langsung menarik perhatian. Namun, dia tetap tenang, mengamati satu per satu siswa yang berkumpul di hadapannya.
Beberapa menit pertama dihabiskan dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan rencana latihan. Keegan dengan serius memaparkan pentingnya disiplin dan kerja keras dalam bermain basket. Para junior, terutama yang laki-laki, mendengarkan dengan penuh perhatian, terinspirasi oleh semangat dan dedikasi Keegan.
Namun, di antara kerumunan itu, Keegan menyadari ada beberapa siswi perempuan yang tampaknya tidak sepenuhnya fokus pada latihan. Mereka saling berbisik, terkadang tertawa kecil sambil sesekali mencuri pandang ke arah Keegan.
"Kalian ada yang nggak dengar instruksi? Jangan ngobrol saat saya bicara."
Suara dingin Keegan seketika menghentikan bisikan di antara para siswi tersebut. Mereka terdiam, sedikit terkejut dengan ketegasan Keegan. Tapi hal itu tidak sepenuhnya menghentikan niat mereka. Beberapa di antara mereka mulai mencari perhatian dengan cara yang lebih halus. Ada yang sengaja memilih berdiri lebih dekat dengan Keegan, ada juga yang mencoba tersenyum atau mengedipkan mata saat dia melihat ke arah mereka.
Keegan, yang sudah terbiasa dengan perhatian semacam itu, hanya merespons dengan pandangan datar. Dia tidak memberikan reaksi apa pun, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Bagi Keegan, sesi latihan ini adalah tentang basket dan tidak ada ruang untuk hal-hal lain. Sifatnya yang dingin dan fokus pada tujuan membuatnya sulit didekati, terutama oleh orang-orang yang tidak ia kenal atau tidak ia anggap penting dalam hidupnya.
Latihan pun dimulai. Keegan membagi para junior ke dalam beberapa kelompok kecil untuk mempraktikkan teknik dasar, seperti dribbling dan passing. Dia berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lainnya, memberikan arahan dan koreksi dengan cermat. Setiap kali dia mendekati salah satu kelompok yang terdiri dari para siswi, Keegan memperhatikan bahwa mereka seolah-olah berusaha lebih keras, mungkin berharap untuk mendapatkan pujiannya.
Namun, Keegan tetap dengan sikapnya yang dingin. Ketika salah satu siswi berusaha berbicara dengannya, mencoba membuat percakapan kecil tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan latihan, dia hanya merespons singkat.
"Kak, tadi malam nonton pertandingan basket di TV nggak? Tim favoritku menang loh."
Keegan sekilas menoleh, tetapi ekspresinya tetap datar.
"Fokus ke latihan aja dulu. Nggak ada waktu buat ngobrolin hal lain."
Siswi itu terdiam, sedikit terkejut dengan respon Keegan yang dingin. Tapi, meskipun sedikit kecewa, dia tetap berusaha keras selama latihan, berharap bisa membuat Keegan terkesan dengan keterampilannya di lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANYA
Teen FictionRanya Aireena Veenstra adalah seorang gadis blasteran Indonesia-Belanda yang tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Ayahnya, Veenstra, memutuskan untuk menetap di Indonesia setelah menikahi Laura, seorang wanita Indonesia. Ranya, anak pertama dari...