Di sebuah sore yang cerah, Ranya, Kyle, Clara, dan Jevi memutuskan untuk berkumpul di kafe favorit mereka setelah jam sekolah. Kafe itu terletak tidak jauh dari sekolah, dengan suasana yang nyaman dan hangat, menjadi tempat langganan mereka untuk bersantai dan berbincang setelah hari yang melelahkan. Mereka duduk di meja sudut yang biasa mereka tempati, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke jalan.
"Akhirnya gue bisa terbebas juga dari latihan soal pak Ibnu. Rasanya kepala mau meledak tau ngga." Clara mengeluh sambil memijat pelipisnya. Jevi, yang duduk di sebelahnya, tertawa kecil
"tau nih, sering banget pak ibnu ngadain kaya gitu" celetuk Ranya
"Tenang aja, Guys. Gue yakin nilai kita bagus semua" ujar Jevi dengan percaya diri.
Ranya, yang duduk di seberang mereka, mengangguk setuju. Dia sendiri merasa lega setelah melewati ujian yang cukup menantang hari itu.
"Jangan terlalu stres. Kita semua udah berusaha yang terbaik, kan?" sambung Clara.
Kyle, yang baru saja meletakkan tasnya di kursi sebelahnya, mengangguk sambil mengaduk kopi pesanannya.
"Kalau di pelajaran pak Ibnu mah, lo cantik lo aman, yang cantik tapi bodoh kayaknya bisa manfaatin pak ibnu buat dapet nilai A deh, hahaha" ucap Kyle. Benar yang di katakan Kyle, Pak Ibnu akan memberikan nilai yang bagus kepada siswi yang menurutnya cantik. Apakah sekolah kalian ada guru seperti itu?
Mereka semua tertawa kecil, merasa lega bisa berbicara dengan bebas tanpa tekanan ujian. Kafe itu perlahan mulai ramai dengan pengunjung lainnya, tapi suasana di meja mereka tetap hangat dan akrab. Ranya merasa nyaman berada di tengah-tengah teman-temannya, menikmati kebersamaan mereka.
Setelah memesan makanan dan minuman, mereka mulai berbicara tentang berbagai hal. Dari hal-hal ringan seperti film yang baru saja mereka tonton, hingga berkunjung ke festival makanan bulan depan. Jevi memecahkan keheningan beberapa detik. "Eh, kalian udah ada rencana belum buat bulan depan nanti? Gue denger si ada festival makanan di pusat kota, mau kesana ngga?"
Clara memukul meja menandakan kaget dengan senang, "Demi apa si? gue pengen banget ke sana. Kita kesana yok lah!"
"Kayaknya seru! Gue ikut deh. Gimana, Kyle?"
Kyle mengangkat bahu sambil tersenyum. "Kenapa enggak? Gue juga pengen coba makanan-makanan enak di sana."
Mereka semua setuju untuk pergi bersama ke festival makanan. Ranya merasa senang karena mereka selalu bisa menemukan waktu untuk berkumpul meskipun jadwal mereka sibuk. Persahabatan mereka terasa sangat erat, dan Ranya bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka.
Waktu berlalu dengan cepat saat mereka berbincang dan bercanda. Tawa mereka memenuhi sudut kafe itu, menarik perhatian beberapa pengunjung lain, tapi mereka tidak peduli. Ranya merasa hangat di hati, menikmati momen-momen sederhana seperti ini.
Setelah beberapa waktu, obrolan mereka beralih ke topik yang lebih serius. Jevi, yang biasanya ceria, tiba-tiba terdiam sejenak, lalu membuka suara dengan nada lebih serius.
"Kalian udah kefikiran buat kuliah dimana belum?" tanya Jevi.
Pertanyaan Jevi membuat suasana sedikit berubah. Mereka semua tahu bahwa waktu untuk memutuskan jurusan kuliah semakin dekat, dan itu bukan keputusan yang mudah.
"Fuck lah kata gue teh, malah di ingetin. Gue galau sumpah setiap mikirin ini, Jev. Gue pengen ambil jurusan sastra, tapi orang tua gue nyuruh ambil manajemen."
"Gue juga belum pasti. Gue suka seni, tapi nggak yakin bisa bertahan di jurusan itu." jawab Kyle.
Ranya mengerti kekhawatiran teman-temannya, karena dia sendiri merasakan hal yang sama. Sejak kecil, Ranya bermimpi menjadi seorang desainer. Meski keluarganya berharap dia mengambil jurusan yang sama seperti ibunya agar bisa menjadi dokter, tapi hasratnya terhadap fashion tidak bisa dia abaikan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANYA
Teen FictionRanya Aireena Veenstra adalah seorang gadis blasteran Indonesia-Belanda yang tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Ayahnya, Veenstra, memutuskan untuk menetap di Indonesia setelah menikahi Laura, seorang wanita Indonesia. Ranya, anak pertama dari...