Part 53. Kontraksi

115 2 0
                                    

Beberapa hari setelah momen hangat bersama Keegan, sore hari itu, Ranya mulai merasakan rasa tidak nyaman di perutnya. Rasa sakitnya masih terasa ringan, jadi dia memilih untuk tidak memberitahukan Keegan. Meskipun begitu, dia merasa cemas dan tidak bisa sepenuhnya menikmati waktu bersantai yang biasanya mereka habiskan bersama.

"Kamu kenapa?" tanya Keegan saat menyadari ekspresi Ranya yang berbeda.

"nggak papa" ujar Ranya kembali menetralkan raut wajahnya.

Saat malam tiba, rasa sakit di perut Ranya semakin intens. Meskipun dia berusaha untuk tetap tenang, rasa sakit itu semakin membuatnya sulit untuk tidur. Keegan, yang terjaga di sampingnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres ketika melihat ekspresi wajah Ranya yang tegang dan penuh kesakitan. Untungnya saja Keegan menyadari perubahan Ranya dari sore, sehingga dia menahan rasa ngantuknya, khawatir jika Ranya kenapa-napa.

“Ra, kamu oke?” tanya Keegan sambil mengusap lembut punggung Ranya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Ranya menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit. “Keegan… rasanya… sakit banget.”

Mendengar kata-kata Ranya, Keegan langsung terjaga sepenuhnya. Dia panik namun berusaha tetap tenang. "Kenapa ngga ngomong dari sore? kamu sakit dari sore kan?" tanya Keegan. Ranya mengangguk lemas.

“Kita kerumah sakit sekarang ya"

Dengan sigap, Keegan membangunkan Ranya dan membantu dia untuk mengganti pakaiannya dengan cepat. Dalam keadaan panik, mereka menuju mobil, dan Keegan memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, dan Keegan tidak bisa menghilangkan kekhawatiran dari pikirannya.

Setibanya di rumah sakit, Keegan langsung membawa Ranya ke ruang gawat darurat. Ranya terlihat sangat kesakitan, dan kehadiran Keegan di sampingnya memberikan sedikit rasa nyaman di tengah rasa sakit yang luar biasa.

Keegan belum sempat menelfon orang tua Ranya dan Maya. Kekhawatirannya membuat dia lupa akan hal itu.

Setelah menjalani pemeriksaan cepat, dokter akhirnya menemui mereka. Dokter dengan wajah serius memberitahukan, “Ranya, kondisi kamu masih belum sepenuhnya siap untuk persalinan. Pembukaan masih belum lengkap. Kita harus menunggu sekitar tiga jam lagi sampai prosesnya benar-benar siap ya.”

Ranya menunduk, merasa frustrasi. “Tapi… aku rasanya sakit banget sekarang Dok.”

Dokter mencoba menenangkan Ranya. “Kami akan memberikan obat pereda nyeri untuk membantu kamu merasa lebih nyaman. Tapi, kita harus pastikan pembukaan sudah lengkap sebelum memulai proses persalinan.”

Keegan memegang tangan Ranya erat-erat. “Ra, kita akan menghadapi ini bersama. Aku di sini buat kamu.”

Ranya memandang Keegan dengan mata penuh rasa terima kasih dan kekhawatiran. “Keegan, aku takut. Rasanya sakit banget. Gimana kalau aku ngga bisa”

Keegan mengusap pipi Ranya dengan lembut. “Kamu pasti bisa. kita udah hampir sampai. Kamu kuat, Ra. Kamu bisa melewati ini. Percaya sama aku oke”

Ketegangan di ruangan semakin terasa seiring dengan waktu yang berlalu. Keegan tidak pernah meninggalkan sisi Ranya, meskipun dia merasa sangat cemas dan khawatir. Setiap kali rasa sakit Ranya datang, dia berusaha untuk memberikan dukungan dan kata-kata semangat.

Beberapa kali, Ranya harus menahan rasa sakit sambil berusaha untuk tetap tenang. Setiap gerakan, setiap suara, terasa sangat berarti bagi mereka. Keegan selalu siap memberikan bantuan, mulai dari mengatur posisi Ranya, sampai membawakan air minum atau hanya sekadar berbicara lembut untuk menghibur.

Saat jam-jam berlalu, setiap detik terasa seperti pertarungan berat bagi Ranya. Rasa sakitnya kadang membuatnya merasa lelah dan putus asa, namun kehadiran Keegan yang terus-menerus mendukungnya memberikan kekuatan tambahan.

Keegan, meskipun dalam keadaan panik, berusaha keras untuk tetap fokus. Dia berdoa dalam hati, berharap agar semuanya berjalan lancar dan mereka bisa segera menyambut kehadiran bayi-bayi mereka. Kecemasan dan rasa tidak berdaya yang dia rasakan seolah menyatu dengan rasa sakit yang dirasakan Ranya.

Saat dokter kembali ke ruang bersalin, Keegan dan Ranya menunggu dengan napas yang tertahan. Ketegangan di ruangan terasa berat, setiap detik berlalu dengan lambat seakan menambah kecemasan mereka. Keegan terus memegang tangan Ranya, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang dirasakannya.

Dokter melihat kondisi Ranya dengan seksama, dan setelah pemeriksaan, ia akhirnya memberikan kabar. “Baik, Ranya. Kamu sudah memasuki pembukaan tujuh. Itu berarti kita sudah semakin dekat menuju persalinan.”

Keegan merasakan sedikit kelegaan mendengar berita tersebut. Dia menatap Ranya dengan penuh harapan. “Ra, kita hampir sampai. Kamu pasti bisa melewati ini.”

Namun, mendengar berita itu tidak mengurangi rasa sakit yang dirasakan Ranya. Rasa nyeri di perutnya semakin intens, dan setiap gelombang kontraksi membuatnya merintih kesakitan. Ranya menggeliat di ranjang, berusaha mencari posisi yang lebih nyaman, tapi tidak ada yang benar-benar bisa mengurangi rasa sakitnya.

“Aaahh... Keegan… rasanya sakit banget...” suara Ranya terdengar tersedu-sedu. Dia memegangi perutnya dan terus-menerus merintih, berusaha menahan rasa sakit yang semakin mengerikan.

Keegan, dengan mata penuh rasa khawatir, terus berusaha menenangkan Ranya. “Ra, coba tarik napas dalam-dalam. Aku di sini. Kamu jangan panik yaa.”

Ranya mengerang lagi, tubuhnya terus menggeliat saat kontraksi datang dan pergi. “Aku... aku nggak kuat... Sakit banget...”

Keegan mengusap dahi Ranya dengan lembut, mencoba memberikan rasa nyaman dengan kehadirannya. “Kamu kuat, Ra. Kamu bisa, sayang. Aku di sini"

Ranya menggigit bibirnya dan terus berusaha untuk tidak terlalu terganggu oleh rasa sakit yang menyiksa. “Aku... nggak tahu... apa bisa...”

Kontraksi demi kontraksi datang dengan semakin intens, dan Ranya terus merintih dan menggeliat di ranjang. Keegan berusaha untuk tetap fokus dan memberikan dukungan penuh. Dia mengatur ulang bantal-bantal di sekitar Ranya, mencoba membuatnya merasa sedikit lebih nyaman.

Saat kontraksi mereda, Ranya menarik napas berat dan mencoba berbicara. “Keegan... tolong..."

Keegan mengelus perut Ranya dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kenyamanan di tengah kesakitan yang di alami istrinya. "Aku tahu ini sakit banget" katanya dengan lembut, matanya penuh dengan empati. "kamu coba atur nafas kamu ya" ujar Keegan.

Ranya menggenggam tangan Keegan dengan erat, memanfaatkan dukungan yang diberikan. "Habis ini jangan punya anak lagi deh, dua aja udah cukup" bisiknya, mencoba menahan tangis.

Keegan merespons dengan penuh kasih, "Iya sayang iya"

Dokter masuk kembali ke ruangan, melihat keadaan Ranya dan menyadari betapa besar kesakitan yang dialaminya. “Ranya, kami akan terus memantau kamu. Sementara itu, cobalah untuk rileks sebisa mungkin antara kontraksi.”

Ranya mengangguk lemah, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku... nggak bisa... tahan lagi...” Keegan memegang tangan Ranya dengan erat.

Selama beberapa jam berikutnya, keadaannya terus-menerus bergelombang antara kontraksi yang menyakitkan dan saat-saat istirahat yang singkat. Keegan tidak pernah meninggalkan sisi Ranya, terus memberikan dorongan dan dukungan, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran.

Ranya merasa lelah, namun setiap kali dia menatap Keegan, dia merasa sedikit lebih kuat. Dengan dukungan dan cinta yang tak henti-hentinya dari Keegan, dia terus berjuang untuk melewati rasa sakit yang tak tertahan, menantikan saat ketika mereka akhirnya bisa menyambut bayi-bayi mereka ke dunia.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang