Part 43

20 3 0
                                    

Tahun Pertama Kuliah

Ranya melangkah masuk ke kampus dengan penuh semangat, menghirup udara segar yang bercampur dengan aroma khas gedung-gedung tua universitas. Dia mengenakan jaket kesayangannya, jaket denim biru pudar yang sudah lama menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Jaket itu selalu membuatnya merasa lebih kuat, lebih berani, seolah-olah setiap benang dan jahitannya menyimpan kekuatan yang siap menemaninya dalam setiap langkah.

Langkah-langkahnya tegas, meski di dalam hati ada sedikit gemetar. Ini adalah kota baru, tempat yang asing dengan segala hiruk-pikuk dan kesibukannya yang berbeda dari apa yang pernah dia kenal. Namun, semangat yang mengalir dalam dirinya mengalahkan semua keraguan. Dia sudah sampai di sini, dan dia bertekad untuk menaklukkan setiap tantangan yang menghadangnya.

Hari-hari pertama di universitas diisi dengan jadwal orientasi yang padat. Ranya, yang awalnya canggung, mulai membuka diri dan mengenal teman-teman baru. Dia bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita hidup yang berbeda, namun satu hal yang sama: semua ingin meraih impian mereka di tempat ini. Suasana kampus yang ramai, dengan mahasiswa berlalu-lalang, kelas-kelas yang silih berganti, dan tugas-tugas yang mulai menumpuk, menjadi dunia baru yang harus dia pahami.

Di tengah kesibukan itu, ada saat-saat di mana Ranya merasa hampa. Setiap kali dia duduk sendirian di kamarnya yang sempit, memandangi dinding putih yang kosong, ingatannya melayang ke rumah, ke Keegan. Ada kerinduan yang menusuk hati, namun dia menahannya, lagi pula, Keegan juga masih sering menghubunginya lewat telfon. Dia harus kuat, dia di sini bukan untuk bersedih, melainkan untuk mengejar mimpi. “Aku di sini untuk belajar, untuk menjadi yang terbaik,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang terkadang berontak.

Sambil menatap layar laptop dengan tekun, Ranya menenggelamkan diri dalam tugas-tugas yang tiada habisnya. Setiap kali dia merasa lelah, ingatannya akan dukungan keluarga justru menjadi pendorong. "Bunda, Ayah sama Leonel pasti ingin aku berhasil," pikirnya, dan dengan pikiran itu, dia kembali fokus, menulis, membaca, mengerjakan tugas-tugas dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Kota ini mungkin asing, namun Ranya bertekad menjadikannya tempat di mana dia akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana. Sebab, dia tahu di ujung perjalanan ini, ada sesuatu yang berharga menunggunya, sebuah masa depan yang dia rajut dengan perjuangan dan pengorbanan.

Tahun Kedua Kuliah...

Masuk tahun kedua, Ranya semakin mantap di jalurnya. Dia mulai terlibat dalam proyek-proyek besar di kampus, mendesain pakaian untuk acara-acara mahasiswa, bahkan mendapat tawaran magang di sebuah butik terkenal. Setiap karya yang dia hasilkan, setiap tugas yang dia selesaikan, membawa kebanggaan tersendiri. Meski begitu, rasa rindu akan Keluarga dan Keegan semakin kuat. Ada saat-saat di malam hari, ketika dia selesai mengerjakan tugasnya, Ranya duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi ponselnya, berharap ada pesan dari Keegan.

Namun, Keegan jarang menghubunginya. Ranya tahu betapa sibuknya Keegan dengan perusahaan ayahnya, tapi ada bagian dari dirinya yang berharap Keegan akan meluangkan waktu, sekadar untuk menanyakan kabarnya. Dia tidak pernah tahu bahwa di sisi lain, Keegan juga sering memandangi ponselnya, berjuang antara keinginan untuk menelepon Ranya dan kekhawatiran mengganggu studinya.

Tahun Ketiga Kuliah...

Tahun ketiga menjadi tahun yang penuh tantangan. Tugas-tugas semakin berat, dan tuntutan akademis semakin tinggi. Ranya sering merasa lelah, tetapi dia tidak pernah menyerah. Keinginannya untuk menjadi desainer sukses menjadi bahan bakar yang membakar semangatnya setiap hari.

Di tengah-tengah kesibukan itu, ada kabar mengejutkan. Orang tua Ranya datang berkunjung, memberi semangat dan membawakan masakan rumah yang selalu dirindukannya. Mereka sangat bangga dengan apa yang telah dicapai Ranya sejauh ini.

"Semangat terus ya" kata ibunya sambil memeluknya erat. Ranya tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. Kehadiran orang tuanya memberinya energi baru untuk terus berjuang. Setiap libur semester Ranya tidak pernah pulang. Ia tetap disini bersama dengan teman barunya.

Semester Akhir dan Kelulusan...

Akhirnya, setelah melewati berbagai tantangan dan rintangan, Ranya tiba di semester akhir. Hari-harinya diisi dengan persiapan tugas akhir, di mana dia menciptakan koleksi desain yang menjadi puncak dari semua yang telah dipelajarinya selama ini. Setiap detail dari karyanya dikerjakan dengan cinta dan dedikasi. Ini adalah bukti dari perjuangannya selama 3,5 tahun terakhir.

Hari kelulusan tiba, dan suasana kampus dipenuhi oleh kebahagiaan dan kebanggaan. Ranya mengenakan toga dengan hati yang berdebar-debar. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, akhirnya dia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Teman-teman sekelasnya berdiri di sekelilingnya, semua penuh dengan semangat untuk masa depan yang menanti mereka.

Namun, ada sesuatu yang terasa kurang di hati Ranya. Meskipun orang tuanya akan hadir, dia tahu bahwa Keegan tidak akan bisa datang. Dia paham betapa sibuknya Keegan dengan perusahaan ayahnya, dan dia mencoba untuk tidak merasa kecewa. Tetapi, di sudut hatinya, Ranya tetap berharap.

Setelah acara seremonial selesai dan Ranya menerima ijazahnya di atas panggung, dia bergegas keluar aula untuk bertemu dengan orang tuanya. Ketika dia tiba di luar, matanya langsung mencari-cari sosok yang sudah sangat dikenalnya. Orang tuanya dan Leonel berdiri di sana, tersenyum bangga, tetapi ada sesuatu yang lain.

Ranya berhenti sejenak ketika dia melihat dua sosok berdiri di samping orang tuanya. Hatinya hampir berhenti ketika menyadari siapa mereka—Keegan dan ibunya. Keegan, dengan senyum lembut yang hanya dia kenal, berdiri di sana dengan setangkai besar bunga mawar di tangannya. Ia memakai pakaian yang begitu rapih selayaknya CEO muda yang sangat sukses.

Ranya tidak bisa berkata-kata. "Keegan? Kamu beneran kesini?" suaranya hampir berbisik karena terkejut. 3,5 tahun dia menahan rindu kepada kekasihnya yang hanya bisa saling sapa lewat layar handphone.

Keegan melangkah maju dan memberikan buket bunga yang besar dan indah itu kepadanya. "Selamat, Sayang," katanya dengan nada lembut namun penuh kebanggaan. "Ini adalah hadiah untuk pencapaian kamu yang luar biasa. Aku bangga sama kamu"

Ranya merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Keegan akan datang, Pandangannya tidak pernah ia alihkan sedikitpun, tetap memandang Keegan yang ada di hadapannya. Apalagi dengan kejutan seperti ini. Dia mengambil bunga itu dengan tangan gemetar, merasa hangat oleh cinta dan perhatian yang ditunjukkan Keegan.

"Keegan... aku ngga percaya kamu benar-benar di sini," kata Ranya, suaranya bergetar.

"Kak, congrast, Aku bangga akhirnya kakak bisa nyelesain kuliah. Tapi tenang aja, tahun depan aku yang ada di posisi ini" ujar Leonel.

"Makasi semuanya" ujar Ranya.

Ibu Ranya tersenyum hangat dan menepuk bahu putrinya. "Kami ingin membuat momen ini menjadi lebih spesial untukmu, Nak. Kamu telah bekerja keras, dan kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini."

Keegan hanya tersenyum kecil dan berkata, "Aku tahu ini adalah hari penting buat kamu, Ranya. Aku ngga mau melewatkan momen ini untuk apapun. Aku mau ada di sini dan ngeliat kamu meraih mimpi."

Ranya menghapus air mata yang jatuh di pipinya, lalu memeluk Keegan dengan erat. "I Miss you" ucapnya.

Momen itu terasa begitu istimewa. Di antara tepukan tangan dan kegembiraan dari teman-teman yang lain, Ranya merasa dunia seakan berhenti sejenak, hanya untuk mereka berdua. Keegan, yang selama ini hanya bisa dia rindukan dari kejauhan, kini berdiri di sampingnya, merayakan salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya.

Ibu Keegan yang selama ini juga ikut mendukung dari jauh, mendekat dan memberikan pelukan hangat kepada Ranya. "Kami semua bangga padamu, Ranya. Teruslah berjuang dan berkarya."

Dengan bunga di tangan dan orang-orang yang dicintainya di sekelilingnya, Ranya merasa bahwa semua perjuangannya selama ini terbayar. Dia telah mencapai mimpinya, dan lebih dari itu, dia tahu bahwa di setiap langkah ke depan, dia akan selalu memiliki Keegan dan keluarganya untuk mendukungnya.

Hari kelulusan itu menjadi lebih dari sekadar akhir dari perjalanan akademisnya; itu adalah awal dari babak baru yang lebih cerah dalam hidupnya.

RANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang