12. Marah

6 0 0
                                    

Setelah selesai memasak dan menyimpan makanan ke dalam lemari sambal, Diara segera menuju kamarnya. Disana Adrian tengah membuka laptop di meja hias tua milik Diara.

Diara masuk dan kemudian duduk di tepi ranjang, ia melihat Adrian yang tengah sibuk bekerja.

“Kamu udah mandi, Ra?” tanya Adrian yang menyadari kedatangan Diara, namun ia tetap fokus dengan pekerjaannya.

“Bentar lagi, Mas,” jawab Diara. "Mas nggak kesulitan buka laptop disana?” Diara merasa Adrian kesulitan bekerja di meja kecil miliknya.

“Nggak, Ra. Aku cuma cek email aja bentar,” jawab Adrian.

Adrian memutar badannya, ia melihat penuh ke arah Diara, “Nanti malam kita ke luar bentar ya, Ra! Aku mau beli bahan makanan untuk besok.”

“Beli bahan makanan, Mas?” tanya Diara dengan kebingungan. 'Kenapa  Mas Adrian harus beli bahan makanan segala?’ pikirnya.

“Iya, Ra. Besok pagi biar aku yang masak sarapan untuk kamu.” Jelas Adrian.

Diara menggeleng tidak setuju, “Nggak Mas! Itu tugas aku sebagai istrimu!” tolak Diara.

Adrian melepas nafas kasar, pemikiran istrinya masih terlalu terbelakang. Tidak semua pekerjaan rumah harus istri yang mengerjakan. Tetapi suami juga bisa ambil bagian untuk membantu pekerjaan istrinya. Hal tersebut bisa mempererat hubungan mereka.

“Pokoknya besok aku yang masak untuk kamu! Aku nggak menerima penolakan!” ucap Adrian dengan nada sedikit tegas, “sekarang kamu mandi dulu, Ra! bentar lagi gelap.”

“Bentar lagi ya, Mas. Aku mau istirahat bentar disini," jawab Diara.

Hempasan nafas kasar terdengar dari mulut Adrian, ia ingin mencium kening Diara lagi. Tapi pasti rasanya masih asin, mungkin ia harus memasang ac di dapur Diara, agar gadis itu tidak keringatan lagi tiap memasak.

‘Pikiran ku benar-benar halu, rumah kayak gini pakai ac?’  batinnya menertawai dirinya sendiri.

****

Malamnya Adrian dan Diara pergi ke supermarket untuk belanja, mereka memilih beberapa kebutuhan. Adrian memegang keranjang belanjaan sembari membeli beberapa kebutuhannya. Ia masih akan lama disana, setidaknya sampai ibu Diara keluar dari rumah sakit. Kecuali jika ada hal mendesak di kantor yang akan membuatnya harus balik secepatnya.

Adrian berjalan di bagian sembako, ia mengambil saus, kecap, sayuran, ikan kaleng, sama daging.

Diara memperhatikan apa yang dipilih oleh suaminya. “Di rumah nggak ada kulkas Mas! Itu daging mau taruh dimana nanti?” bisik Diara kepada Adrian.

Adrian melihat daging di keranjang belanja yang ia pegang, ia ingin makan daging panggang, tapi masa ia harus ke supermarket lagi besok? “Nanti aja pikirin, Ra. Sekarang beli aja dulu,” jawab Adrian tak mau pusing.

“Ihh! Mas! Nanti mubazir,” gumam Diara.

Adrian hanya tersenyum, mereka pindah ke bagian alat mandi. Disana Adrian membeli shampoo, sabun pencuci muka, sabun mandi, odol, sabun cuci tangan, sama deodoran.

Diara hanya diam melihat, tak ingin memprotes Adrian yang menurutnya amat boros karena membeli barang-barang seperti itu. Kemudian Adrian menarik tangan Diara ke bagian keperluan perempuan. Diara hanya diam mengikuti langkah Adrian.

“Aku lihat di kamar kamu nggak ada cream untuk perawatan, Ra. Kamu pilih aja yang mana kamu suka, Mau bedak, parfum, atau yang lain,” ucap Adrian.

“Jangan Mas! Aku nggak suka boros untuk hal yang kayak gituan,” tolak Diara.

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang