26. Mau Uang Berapa

7 0 0
                                    

Diara tengah sibuk menyiram bunga di taman depan rumah, sementara mertuanya membereskan taman belakang. Disela kesibukannya, ponselnya berdering dikantong bajunya. Ia segera mengeluarkannya dan melihat nama si penelfon.

Bosnya di restoran yang menelfon. Sudah lebih dari seminggu ia tidak masuk tanpa ada kabar. Si bos yang suka menyuruhnya akhirnya merasa perlu menghubungi Diara.

“Halo, Bu,” ucap Diara mengangkat panggilan itu.

“Diaraaaa, kemana aja kamu? ha?” suara wanita itu terdengar nyaring di seberang telfon, “ini pekerjaan keteteran semua karena kamu nggak ada.”

Keteteran apaan, emang aku kokinya apa? keluh Diara mendengar suara itu. Padahal selama ini ia hanya diperlakukan seperti babu saja disana. Pekerjaannya hanya mengepel lantai di restoran 2 tingkat itu. Pasti takkan sulit mencari pengganti dirinya disana.

“Maaf, Bu, tapi kayaknya Diara nggak bisa kerja lagi, Diara sekarang lagi di ibukota, Bu, belum tahu kapan Diara bakalan pulang,” jelas Diara.

“kamu ini, kalau nggak bisa kerja lagi bilang dong,” teriak wanita itu, “kan saya bisa cari orang baru.”

“Maaf, Bu, maaf, Diara nggak kasih kabar ke ibu sebelumnya,” ucap Diara dengan rasa bersalah.

Diara ikut memberi hormat kepada mantan bosnya itu dengan menganggukan kepalanya berkali-kali.

“Sisa gaji kamu gimana?” tanya mantan bos Diara.

Gaji? batin Diara, Diara tersenyum, walaupun bosnya itu judes, suka memerintah, tapi tetap peduli dengan kehidupan karyawannya. Dan tentu bertanggung jawab atas semua kewajibannya sebagai pemilik restoran.

“Nanti Diara bilang ke adik Diara untuk menjemput ke restoran ya, Bu,” ucap Diara.

“Ok, jangan lama-lama, saya yang nggak mau makan hak orang,” ucap mantan bos Diara, dan kemudian panggilan tertutup.

Diara melepas nafas kasar, perhatian juga si bos itu kepadanya. Padahal selama ini ia disuruh-suruh tanpa diberi waktu istirahat, sekalinya istirahat sudah langsung diteriaki. Diara tersenyum mengingat masa-masa itu.
Sekarang ia sudah hidup lebih baik dengan keluarga yang terasa nyaris sempurna baginya.

Adrian benar-benar menjadi suami yang baik yang peduli dengan setiap kesusahan hatinya, begitu juga mertuanya yang memperlakukannya dengan baik.

Bunga-bunga yang disusun di taman rumah Adrian kembali disirami Diara, sesekali gadis itu melihat ke arah ikan koi yang asyik bermain di dalam kolam. Diara menarik nafas panjang, mertuanya sangat suka berkebun rupanya, bahkan taman itu Bu Aliah sendiri yang membangun dan merawatnya, termasuk jug taman belakang yang saat itu tengah disirami juga oleh Bu Aliah.

“Lo istri Adrian, kan?” Suara seorang laki-laki mengagetkan Diara.

Diara menghentikan kegiatannya dan memberi hormat kepada laki-laki itu. Wajah laki-laki itu mengingatkan Diara kepada sosok teman Adrian di hotel yang pernah ia lihat.

“Mas Kamil, ya?” gumamnya.

“Jadi Adrian benar-benar udah nikahin,  Lo?” tanya Kamil lagi.

“Iya, Mas” jawab Diara sembari mengangguk.

Diara memberanikan dirinya melihat wajah Kamil yang memandangnya dengan tajam. Tatapan itu seakan ingin membunuhnya.

“Lo mau uang berapa?” tanya Kamil, “akan gue kasih, asalkan Lo pergi dari hidup Adrian.”

Mata Diara membulat mendengarnya, suara Kamil datar, tapi tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung dan hatinya.

Diara menelan saliva menguatkan dirinya, ia takkan mundur sedikit pun dari sisi Adrian, itu sudah ia putuskan, ia tak ingin kehilangan Adrian dan Bu Aliah yang telah baik kepadanya.

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang