14. Mengkhianati

6 0 0
                                    

Diara baru selesai mencuci pakaian di belakang, ia lekas menjemur pakaiannya, mumpung matahari cukup terik. Satu persatu pakaian ia jemur, hingga saat menjemur pakaian Adrian, ia merasakan hal berbeda, dari dulu ia tidak pernah mencuci pakaian laki-laki, hari itu bahkan ia mencuci dalaman laki-laki.

Tapi tak apa, ia harus membiasakan diri dengan status sebagai seorang istri.
Setelah selesai menjemur pakaian, Diara kemudian masuk ke dapur dan menyiapkan segelas teh, teh itu ia bawa ke ruang tamu, tempat dimana Adrian tengah sibuk dengan laptopnya.

“Mas nggak jadi balik sekarang?” tanya Diara sembari menaruh teh di meja.

“Ngga Ra, aku udah minta agar kerja jarak jauh dulu, tapi ini juga nggak bisa lama, nanti aku bisa dipecat kalau lama-lama,” jawab Adrian.

Adrian mencicipi teh bikinan Diara, "makasih buat teh nya Ra," gumam Adrian, Diara tersenyum senang. Kalimat makasih Adrian membuatnya merasa dihargai.

Selama ia bekerja di restoran, kalimat itu hampir mustahil bisa didengarnya. Huh, restoran ya, gimana keadaan restoran sekarang? si ibu pasti marah karena aku tidak datang tanpa kabar' batin Diara mengingat lagi tempatnya bekerja.

“Kalau Mas dipecat, Mas cari kerja disini aja,” ucap Diara mencoba menawar.

Adrian tersenyum, mana mungkin ia melakukan itu. “kalau aku dipecat, aku akan dipindahkan ke anak perusahaan, Ra,” jawabnya, “aku nggak bisa ninggalin perusahaan, ada hutang yang harus ku bayar kepada mereka.”

“Hutang? hutang apa mas?”

“Ya hutang, tadi aku kan bilang, kalau aku pernah hidup sepertimu ini, keluarga temanku yang di hotel kemarin memberiku pendidikan hingga kuliah, aku harus bekerja untuk mereka membalas segala kebaikan mereka,” jelas Adrian.

Diara mengangguk pelan, ia paham dengan keadaan itu, mungkin hal serupa tengah ia rasakan kepada Adrian sekarang. Ada hutangnya kepada Adrian, biaya operasi ibunya yang sangat besar, jika Adrian ingin ia di dekatnya, ia akan senang hati mendampingi Adrian, tapi jika Adrian membuangnya, ia juga sudah siap bercerai.

'cerai ya? kenapa kata itu terasa menyakitkan,  aku tak ingin hal itu terjadi, aku masih ingin di dekat mas Adrian seperti ini' batin Diara.

Pintu rumah terdengar di ketuk, suara seorang laki-laki memanggil Diara dari luar. "Ra, Diaraaa!" panggilan suara itu.

“Siapa Ra?” tanya Adrian.

Diara terdiam, itu jelas suara Hendra. aku harus gimana?’ pikirnya. Diara melihat ke arah Adrian yang juga memandangnya. Adrian jelas melihat raut gusar dari wajah Diara. Adrian kemudian berdiri untuk bangkit dan segera membuka pintu, namun Diara dengan cepat menahan Adrian. “Aku aja, Mas, Mas duduk aja,” ucapnya.

Diara segera membuka pintu, Hendra menyambutnya dengan tersenyum, “Halo,Sayang!” sapa Hendra dengan lembut. Diara segera menarik tangan Hendra untuk menjauh dari pintu.

Sementara Adrian melihat mereka dari tempat duduknya, menahan rasa tak menentu di hatinya. Entah mengapa ia merasakan sesuatu yang aneh saat melihat Diara memegang tangan Hendra, ditambah lagi ada kata sayang yang ia dengar. ‘sayang? apa dia pacarnya Diara,’ pikir Adrian.

“Mas kenapa kesini?” tanya Diara yang segera melepas tangan Hendra saat mereka sudah berada di ujung teras.

“Aku kangen sama kamu, kamu aku chat nggak dibalas, aku telfon juga nggak diangkat, kamu ada masalah?” tanya Hendra.

Diara menarik nafas panjang, ia sangat mencintai laki-laki itu, bahkan sampai detik itu, rasa cinta itu terasa amat besar. “Maaf, Mas,” jawab Diara.

“Aku rasa kita harus selesai sekarang,” lanjutnya dengan nafas tercekat.

“Apa, Ra?  selesai? putus?” ucap Hendra yang tak percaya dengan ucapan Diara, “aku nggak mau, Ra, aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang