23. Tidak Dianggap

5 0 0
                                    

Adrian masuk ke kamarnya, dan segera duduk di sofa, ia melihat ke seluruh bagian kamarnya itu. Semua fotonya dengan Hesty telah ia simpan dan taruh di ruang kerjanya. Mungkin harus segera ia bakar, ia tidak ingin semua foto itu menyakiti hati Diara.

Pintu kamar Adrian terbuka, Diara masuk dengan membawa kompresan es untuk Adrian. Diara segera duduk di samping Adrian. Tangan Diara mulai mengompres pipi Adrian.

“Pelan-pelan, Ra,” gumam Adrian saat merasakan hawa dingin mendekat ke pipinya yang memar.

“Kenapa bisa sampai kayak gini, Mas?” tanya Diara.

“Nggak usah dibahas, Ra,” jawab Adrian dengan singkat.

“Kenapa, Mas? apa ini karena aku?” tanya Diara lagi penuh selidik.

Adrian tersenyum, ia mengusap puncak kepala Diara, “Jangan berpikir yang nggak-nggak, Ra.”

Diara mengangkat kepalanya, ia membalas tatapan Adrian yang tampak tenang kepadanya.

“Kalau bukan karena aku kenapa Mas nggak mau cerita?” tanya Diara, ia kembali fokus mengompres memar di wajah Adrian.

Adrian menatap dalam wajah Diara, sekarang semuanya benar-benar tampak rumit. Ia harus bisa bersikap dewasa agar Diara tidak menjadi korban dari semua masalahnya.

“Mas, kok diam sih?” gumam Diara.

“Udah, Ra, jangan dipikirkan, lagian ini cuma memar kok," ucap Adrian.

Diara memanyunkan bibirnya karena kesal, namun tangannya masih fokus mengompres pipi Adrian. Memar itu jelas merusak wajah tampan suaminya.

"Maaf ya, Ra, kita belanjanya besok aja ya," gumam Adrian dengan pelan. "Aku nggak nyaman jalan dengan keadaan kayak gini."

"Iya, nggak apa-apa, Mas, yang penting Mas sehat dulu," jawab Diara dengan perhatian.

“Ibu gimana, Ra? apa ada masalah lagi?”

“Ibu baik bangat, Mas, aku kira ibu bakalan ngatain aku jalang, tapi ternyata nggak,” jawab Diara.

"kamu bicara apa sih? kamu ini istriku, jangan ngomong yang nggak-nggak kayak itu lagi."

"Tapi atas apa yang terjadi hari itu, semua orang pasti akan bilang aku kayak itu, Mas," jawab Diara dengan pelan, sakit sebenarnya, namun ia tetap tegar menghadapi semuanya.

“Tapi sepertinya ibu sangat marah sama aku,” ucap Adrian mengalihkan pembicaraan mereka.

Diara menghentikan kompresannya di pipi Adrian, ia bersandar di sofa, menatap dalam ke arah ranjang Adrian. Sekarang ia benar-benar nyaman disana, Adrian dan Bu Aliah memperlakukannya dengan baik, atau bahkan sangat baik.

“Mas, kita akan tetap seperti ini, kan? walaupun tidak ada cinta di antara kita,” ucap Diara.

Adrian melepas nafas kasar, ia melihat Diara yang bersandar di sofa, kemudian ia menarik kepala Diara ke bahunya, tangannya merangkul bahu Diara. “Dari awal kan aku sudah bilang, Ra, aku nggak main-main buat sebuah pernikahan,” Adrian menatap wajah Diara, “cinta itu akan tumbuh Ra, sekarang kita nikmati saja kebersamaan kita ini.”

Sedetik kemudian sebuah ciuman mendarat di pipi Diara, rasanya tidak asin lagi. Diara tidak keringatan lagi, suhu rumah Adrian memang dijaga dengan baik. Beberapa ruangan terpasang pendingin ruangan serta AC di ruang tertutup seperti kamar.

Setelah ciuman di pipi itu, Diara kembali merapatkan tubuhya ke tubuh Adrian. Adrian benar-benar memberinya kenyamanan.

"Mas cuma tinggal berdua sama ibu disini?" tanya Diara.

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang