56. Kesedihan

2 0 0
                                    

Adrian terbangun lebih dulu dari Diara pagi itu, matanya terbuka ketika jam di nakasnya menunjukkan pukul 4 lewat 10. Adrian mendudukan tubuhnya dan bersandar di tepi ranjang. Matanya melihat Diara yang masih terlelap tidur, anak rambut Diara yang berantakan ia rapikan ke belakang telinga istrinya. Adrian tersenyum menatap wajah cantik itu.

Namun ada satu titik yang coba ia elakan selama ini dari hatinya, rasa bersalah kepada Hesty. Dari dulu Ia sudah tahu seperti apa kehidupan Hesty. Selalu diabaikan oleh kedua orang tuanya, tak pernah mendapatkan perhatian walau hanya sesaat, kecuali materi yang tak pernah berhenti mengalir kepadanya.

Adrian sejenak memegang dadanya, merasakan perasaan bersalah itu sangatlah berat, tapi takdir tak bisa ia elakan. Membayangkan seperti apa hancurnya Hesty saat itu saja ia tidak bisa. Gadis lemah yang tampak kuat dihadapan semua orang. Disaat ia kuliah, gadis itu mencari kasih sayang dari laki-laki lain, mengkhianatinya dan menghancurkan hatinya.

Perlahan Adrian mendekat ke arah Diara, memberi kecupan hangat di bibir istrinya. Hingga sesaat kemudian Diara membuka matanya karena kehangatan dibibirnya.

“selamat pagi Ara” Sapa Adrian menyambut pagi Diara.

“pagi mas” jawab Diara dengan seceria biasanya.

Hari-hari yang begitu indah ia jalani  beberapa hari belakangan ini, Tuhan terasa sedang berbaik hati kepadanya memberi kebahagian itu. Diara kemudian mengelus perut datarnya yang masih polos tanpa pakaian.Berharap apa yang mereka lakukan semalam meninggalkan benih di rahimnya, melengkapi kebahagiannya.

Tentang para perempuan yang dikatakan Rina kepadanya, ia lupakan jauh di belakang. Sekarang Diara hanya ingin menatap masa depan dengan kebahagiaan bersama Adrian. Laki-laki yang tengah menatap sorot matanya dengan kehangatan.

“mas mau segera mandi?” tanya Diara.

“hmm, bentar lagi Ra, mas masih mau memelukmu” Segera tangan Adrian melingkar di pinggang Diara, membuat Diara tertawa tipis merasakan kegelian disana. Sesaat kemudian kecupan itu kembali bertubi-tubi menyerang dirinya.

*

Mobil Adrian berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota, Kamil duduk di sebelahnya dengan memegang tablet, mengecek beberapa laporan keuangan anak perusahaan yang masih defisit. Keningnya berkali-kali berkerut mencoba memahami laporan itu. Sedetik kemudian lenguhan kesal keluar dari mulutnya.

“kenapa defisitnya semakin besar gini sih?” umpatnya.

“lo yang hari itu nggak mau gantiin gue rapat, rapatnya baru diatur jadwalnya akhir minggu ini” Adrian menjawab tanpa melihat ke arah Kamil.

Kamil mendesis kesal, ia sudah menahan rasa marahnya sejak kemarin malam. Samuel sudah menelfonnya, Adrian menolak mentah-mentah tawaran yang diberikan Samuel. Membuat kepala Kamil terasa pecah dengan semua keadaan itu. Apalagi kondisi ekonomi menurun, membuat beberapa kerja sama dengan rekan bisnisnya terpaksa ditunda.

Tangan Kamil mengusap kasar wajahnya, tabletnya ia matikan dan ia simpan ke dalam tas kerjanya yang ia taruh di kursi belakang.

“lo yang jadi biang masalahnya, lo ninggalin rapat hari itu untuk istri lo, dan lo juga membatalkan kerja sama dengan Samuel juga karena istri lo, istri lo itu cuma bikin masalah doang kerjanya” Rutuan Kamil seketika membuat hati Adrian memanas, tidak terima dengan ucapan sahabat sekaligus bosnya itu.

“cukup lo nyalahin istri gue Mil, lo yang ngasih kerjaan banyak buat gue, kalau kerjaan gue nggak menumpuk sebanyak itu, rapatnya juga bisa diatur ulang lebih cepat”

“dan hari itu lo pikir gue nggak tahu kalau lo sengaja ninggalin istri gue sama Samuel di mall, maksud lo apa?  kalau lo nggak buat ulah seperti itu, Diara nggak bakalan minta gue pulang dan rapatnya bakalan kelar hari itu”

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang