11. Belum Bisa Menerima

4 0 0
                                    

Adrian mengambil kopernya di dalam bagasi mobil, ia sudah mendapatkan izin dari kamil untuk bekerja jarak jauh dulu. Jika Kamil memilih memecatnya, ia juga tidak masalah. Sudah banyak perusahaan lain yang menawarkan posisi yang lebih tinggi daripada seorang sekretaris kepadanya. Hanya rasa hutang budi pada kedua orang tua Kamil yang membuat Adrian masih betah menjadi bawahan sahabatnya itu.

Koper diangkat Adrian ke dalam kamar Diara, ia kemudian membuka pintu lemari Diara, sudah reyot juga, sama seperti pintu depan. Bahkan engselnya saja juga sudah hampir putus. Adrian melepas nafas panjang. Sesulit itukah kehidupan Diara, mungkin benar, Diara hidup tanpa ayah dan ibunya sakit-sakitan. Beda dengan dia yang mendapatkan kebaikan hati orang tua Kamil sejak SMA.

Adrian melihat isi lemari Diara, kebanyakan disana hanya daster rumahan. Hanya sedikit celana jeans dan kemeja, bahkan beberapa pakaian juga ada yang robek. Namun tidak dipakai lagi oleh Diara. Adrian menggeser pakaian Diara untuk memberi ruang bagi pakaiannya. Ada gambar menara Eiffel di dalamnya, Adrian tersenyum. apa istrinya itu ingin kesana, jika ada waktu, ia akan membawa Diara ke sana nanti.

Adrian kemudian memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, membuat lemari yang sudah padat itu semakin padat. Adrian kemudian mengambil handuk dan peralatan mandinya, serta juga celana pendek dan dalaman.

Ia kemudian keluar menuju dapur, mencari Diara yang tengah memasak untuk makan malam mereka.

“Ra!” Panggil Adrian.

Diara yang sedang mengiris bawang mengangkat kepalanya, terlihat sang suami tengah menatap lembut kepadanya. “Ada apa, Mas?” tanya Diara.

“Aku mau mandi, kamar mandinya dimana?” tanya Adrian.

Diara menghentikan kegiatannya dan kemudian berdiri, dari lantai tanah dapurnya. Ia kemudian berjalan ke sisi lain dapur itu, ada pintu kayu yang juga tak kalah reyot. Astaga, apa semua pintu dirumah ini reyot semua? Emang aman tinggal dengan pintu seperti itu, batin Adrian tak percaya dengan kehidupan Diara. Adrian melihat punggung Diara yang berjalan di depannya.

Saat Ia melihat Diara di restoran, gadis itu terlihat cantik dan menarik, mungkin sedikit perawatan, bisa mengembalikan putih wajahnya yang gelap karena panasnya cuaca dan kerja beratnya setiap hari. Serta sedikit ke salon merapikan rambutnya, kecantikan Diara akan semakin terlihat.

“Disana Mas!” tunjuk Diara ke arah sumur, hanya di kelilingi seng yang sudah berkarat. Lantainya coran kerikil dan semen, serta pintunya dari karung goni.

Adrian melepas nafas panjang, ia sudah menahan diri untuk tidak mengkritik kehidupan Diara yang tak layak itu. “Kenapa Mas?” tanya Diara. Gadis itu menyadari wajah suaminya yang tampak tak nyaman disana.

“Aku sudah bilang agar kamu di hotel saja, tapi kamu menolaknya kan, Mas!” Ketus Diara seraya berjalan menuju pintu sumur tersebut.

Adrian meremas handuknya, ia mendekat ke arah Diara yang berdiri melipat tangan di dadanya, gadis itu berdiri tepat di depan pintu masuk ke sumur.

“Kalau kamu mau buang air besar, disana tempatnya!” Tunjuk Diara ke sebuah gubuk kecil, dindingnya dibuat dari anyaman bambu, dan ada 2 atap seng di atasnya, “Tapi ambil airnya tetap di sumur ini, Mas” lanjut Diara.

Diara menelan salivanya karena Adrian semakin mendekat kepadanya. Diara menggeser posisi tubuhnya, agar Adrian bisa masuk ke dalam kamar mandi kecilnya itu.

“Kamu mau nemani aku mandi?” Tanya Adrian dengan pelan.

Nafas Diara terasa tercekat ke ujung tenggorokannya. Menemani mandi? Mana mungkin, ia belum siap melihat tubuh Adrian tanpa baju, bayangan malam itu masih menghantui pikirannya. “Maaf, Mas,” gumam Diara dengan menunduk.

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang