16. Kehangatan

4 0 0
                                    

“Ra, aku ada keperluan mendadak, Ra, aku pergi bentar ya," ucap Adrian dengan hati-hati kepada Diara, berharap istrinya itu tidak mencurigainya.

“Masalah pekerjaan ya, Mas?” tanya Diara.

Adrian menelan salivanya, ia mengangguk, maaf aku berbohong Ra’ batinnya.

“Nggak apa-apa, Mas, mereka pasti sangat membutuhkanmu, dari tadi kamu sibuk sekali kerjanya,” ucap Diara, ia tidak ingin pekerjaan Adrian terganggu karena dirinya.

Adrian menarik nafas dalam, Diara cukup pengertian kepadanya, walaupun ia berbohong, tapi gadis itu terlihat cukup mengerti jika ia cukup sibuk menjadi sekretaris Kamil. Adrian kemudian pamit kepada Diara dan bu Rianti. Hesty sudah mengirim alamat restoran tempatnya menunggu, restoran yang sama dengan saat pertama kali Adrian melihat Diara.

Sementara Diara memejamkan matanya saat Adrian menutup pintu kamar ibunya, ada perasaan tak ikhlas saat Adrian pergi. Sejak pagi kemarin mereka menikah, itulah kali pertama Adrian meninggalkannya.

“Rab... ” gumam bu Rianti menatap putrinya.

Diara mengusap kasar wajahnya, ia kemudian tersenyum kepada ibunya.

“Kamu sudah bicara dengan Hendra, Nak?” tanya Bu Rianti.

“Tadi Mas Hendra ke rumah, Bu,” ucap Diara.

Bu Rianti melepas nafas kasar, ia sangat menghargai Hendra yang menerima kekurangan Diara. Namun Adrian malah merusak Diara, ia benar-benar menyesali kejadian malam itu. Seharusnya ia bersikap tegas agar Diara tidak pergi menuruti Reni.

“Lalu gimana, Ra?” tanya bu Rianti dengan khawatir.

“Mas Hendra kecewa sama bangat aku, Bu,” mata Diara berkaca-kaca, rasa sesak kembali menyeruak ke dalam hati Diara. Sakit sekali rasanya ketika harus melepas laki-laki yang ia cintai.

Diara mengeluarkan ponselnya, sudah ada beberapa panggilan dari Hendra yang terpaksa ia abaikan karena Adrian selalu ada di dekatnya.

“Apa menurut ibu Diara harus bertemu lagi dengan Mas Hendra dan bicara baik-baik dengannya?” tanya Diara.

Bu Rianti sejenak berpikir, ia paham seperti apa perasaan Diara, kehilangan orang yang paling kita cintai karena kesalahan kita, pasti sangat menyakitkan. Hanya penyesalan yang tak kunjung reda yang dirasakan Diara. Bu Rianti sudah menduga semua itu.

“Kamu sudah memikirkan perceraianmu dengan Adrian, Ra?” tanya Bu Rianti dengan dingin.

Diara menelan salivanya, apa yang dipikirkan ibunya? bukankah ibunya sendiri yang merestui Adrian untuk bertanggung jawab kepadanya, dan juga tentang harta yang dikatakan Adrian yang akan menjadi miliknya. Apa ibunya benar-benar ingin merebut segala kepunyaan Adrian?

“Maksud Ibu perceraian apa? bukankah harta mas Adrian untuk jaminan mas Adrian tidak akan meninggalkan Diara, Bu?” gumam Diara.

Bu Rianti tersenyum licik, “ibu yang membesarkanmu, ibu yang menjagamu, ibu tidak ikhlas sampai kapanpun atas apa yang ia lakukan kepadamu, Ra, ibu tidak rela sedikitpun, sekalipun ia sudah bertanggung jawab.”

“Pikirkan saja kapan kamu akan bercerai, dan ambil semua uangnya,” ucap bu Rianti dengan tegas.

Diara menggeleng, kenapa ibunya sejahat itu kepada Adrian. Padahal Adrian sudah dengan baik hati membayar operasi ibunya dan mau bertanggung jawab atas dirinya. Apa lagi yang diinginkan ibunya?

“Nggak, Bu, kami sudah menikah, biarkan kami mencoba merajut rumah tangga kami, Bu.”

“Nggak, Ra, dia itu cuma laki-laki hidung belang, kerjanya hanya tidur dengan perempuan-perempuan, dia hanya akan menyakiti kamu, lebih baik jangan berharap apa-apa kepadanya,” Bu Rianti menyorot tajam mata anaknya, “jangan pikir ibu yang jahat, semua hartanya tidak akan mampu membayar apa yang telah ia lakukan kepadamu.”

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang