49. Milik Mas

8 0 0
                                    

Hari itu berjalan seperti biasa, sama seperti hari-hari sebelumnya. Mata Diara terbuka sebelum pukul lima, dan ia langsung mengapai ponselnya, membaca ucapan selamat pagi dari suaminya yang jauh di seberang sana. Setiap hari seperti itu, tetap saja jantung Diara berdegup kencang membacanya.

Namun hari itu berjalan tak sebaik ia bangun tidur, adalah karena sebuah paket kotak yang ditujukan untuk dirinya.

Siang itu Diara sedang asyik mencuci mobil Adrian yang hampir seminggu terpakir di bagasi, sengaja Diara cuci agar kinclong lagi dipakai suaminya besok pagi.

“paket atas nama Diara mbak” teriak pengantar paket dari balik pagar rumah yang masih tertutup, ia sedikit mengintip dari celah pagar rumah dan melihat Diara tengah mencuci mobil di garasi.

Diara yang sedikit kaget mendengarnya segera mematikan air dan berjalan menuju pintu pagar, ia sedikit membuka pagar dan melihat pengantar paket berseragam merah dengan memakai buff hitam dan helm biru.

“Atas nama Diara mbak” ucap si pengantar paket.

Mata Diara menatap bingung pengantar paket itu, Siapa yangmengiriminya paket, ibunya? atau Ayu? tapi mereka sama sekali tidak tahu alamat rumah Adrian, bagaimana mungkin mereka bisa mengirimi paket untuknya.

“Dari siapa pak?” tanya Diara dengan heran.

Si pengantar paket membaca kertas yang ditempel di paket itu. “Samuel mbak” ucap si pengantar paket.

Diara menelan salivanya seketika, matanya tak bisa berkedip. Kaget dengan apa yang ia dengar, “Samuel pak” gumamnya dengan gugup.

“iya mbak” jawab si pengantar paket. “ini mbak” paket itu disodorkan kepada Diara.

“maaf pak, saya tidak kenal dengan yang namanya Samuel, mungkin bapak salah alamat” ucap Diara dengan cepat, ia menutup kembali pintu pagar, namun segera ditahan si pengantar paket.

“maaf mbak, ini alamatnya disini, mbak Diara bukan?” tanya si pengantar paket yang kesal dengan sikap Diara.

“kembalikan aja sama pengirimnya mas, bilang salah alamat” ucap Diara, ia mengerahkan semua tenaganya menutup pagar itu dan segera menguncinya dari dalam.

Sikapnya itu membuat si pengantar paket mengeram kesal di depan pagar.

Diara berjalan cepat masuk ke rumah, meninggalkan pekerjaannya yang masih belum selesai. Langkah Diara ia tujukan ke ruang kerja Adrian, menenggelamkan diri disana.

Bingung, seperti apa dia harus menghadapi Samuel, chatan Samuel yang terus dikirim laki-laki itu ia abaikan, bahkan kontaknya sudah ia blokir 3 hari lalu. Tapi tetap saja laki-laki itu menganggunya.

Belum reda pemikirannya yang kalut karena ulah Samuel, sekarang dering ponsel ikut merusak suasana hatinya. Adalah nama Riyana yang membuat Diara menjambak rambutnya karena kesal otaknya tidak bisa berpikir untuk terhindar dari orang-orang itu.

“apa salah aku sama kalian? kenapa kalian terus menggangguku seperti ini?” Ucap Diara dengan gemetar.

Sesaat kemudian panggilan itu ia terima dan ponselnya ia taruh di telinga kirinya.

“Halo Na?” jawab Diara dengan nada tenang, ia berusaha mengendalikan aliran nafasnya yang tadi terasa sesak.

“siang ini sibuk nggak Ra, aku udah lama nggak ke salon nih” ucap Riyana dengan akrab seperti biasa.

“aku, aku nggak bisa Na, hari ini suamiku pulang, aku harus menunggunya di rumah” Tolak Diara pada ajakan Riyana.

“aduh Ra, masih aja kamu kayak gini, masa ke salon aja masih mikirin suami sama mertua, tubuh kita perlu perawatan, tanggung jawab kita sendiri, bukan suamimu atau mertuamu” suara Riyana terdengar gemas dengan jawaban Diara tadi.

Tiada Hutang Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang